Mohon tunggu...
Kurniasih
Kurniasih Mohon Tunggu... Administrasi - pengajar dan penulis

Rinai Kinasih adalah Kurniasih. Menulis adalah untuk berbahagia. Tak lupa juga untuk mencintai pepohonan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Redefinisi Memasak

24 Februari 2017   22:13 Diperbarui: 24 Februari 2017   22:44 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ternyata keahlianku dalam memasak masih berada pada satu jenis sayuran, yaitu tumis kangkung. Masih terbayang ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar tengah susah payah mengaduk kangkung di dalam wajan besar. Kangkung bumbu oncom adalah favoritku saat itu. Penikmatanku pada memasak masih menggebu-gebu saat itu. Meski aku pun tak tahu mengapa aku suka memasak kangkung. Tetapi perlahan-lahan cerita masak memasak berubah menjadi sebuah tragedi identitas.

Sebenarnya, meskipun tak disuruh, toh memasak tetap kusukai saat itu. Tetapi impresinya berubah total ketika alam berpikir keluarga yang patriarkis-dogmatis menanamkan prinsip tanpa cinta itu ke kepalaku. Melalui kakak laki-lakiku, para tante dan ibu-ibu yang sok tahu tentang kehidupan menjadi perempuan, menanamkan bahwa tugas perempuan adalah memasak di dapur. Perempuan yang tak mampu memasak adalah pecundang.

Ketika aku masih bocah, raut identitasku adalah perempuan yang lembut sebagaimana perempuan sunda pada umumnya. Aku belajar merasa malu bila berbicara kasar di depan umum. Aku belajar sopan santun di depan orang yang lebih tua. Semua itu tidak ada masalah bagiku. Tetapi ketika nilai-nilai yang ditanamkan cenderung bernada mendiskreditkanku sebagai ciptaan Allah maka aku berontak dengan caraku sendiri.

Aku memang tidak memperlihatkan sikap yang terlampau reaktif dan keras. Tetapi diam-diam aku berusaha memahami siapakah identitasku ini. Ternyata identitas yang kudapatkan adalah irisan-irisan yang berasal dari kultur dan tafsir agama. Betul-betul identitas yang semu dan belum jelas kesolidannya. Pemikiran tersebut tentu aku bisa dapatkan setelah aku dewasa dan banyak membaca. Sementara dalam realitas di hadapanku, penampilannya begitu keras, dan sukar ditembus.

Seorang kakak ipar perempuanku yang seusia, meninggal dua tahun yang lalu. Beliau didiagnosis memiliki kelainan jantung stadium lanjut. Itu pun diketahui secara tak sengaja. Beliau ketika hamil menderita demam berdarah. Nah ketika di rawat di RS diketahui jantungnya bermasalah akut. Ketika beliau akhirnya meninggal setelah beberapa hari melahirkan secara prematur, cerita yang baik-baik tentangnya beredar.

Ada satu pemberitaan yang hingga hari ini tidak bisa kuterima. Beliau dipuja dan dipuji sebagai perempuan yang sangat sabar serta tidak pernah mengeluh bahkan ketika awal mula gelaja sakit jantungnya terasa. Menurut ibundanya, gejala seperti mudah lelah dan sakit dada sudah sejak masa sekolah diperlihatkannya. Tetapi menurut ibundanya, almarhum tidak pernah mengeluh. Ya...itulah penilaian yang sempurna sebagai seorang perempuan, yaitu menerima apaadanya dan tidak pernah mengeluh. Bagiku, hal tersebut adalah pengabaian terhadap diri. Sabar dan menerima apa adanya tidak seiring dan sejalan dengan ketaklidan terhadap realitas dan ketidakpedulia terhadap diri. Sabar tidak sama dengan berdiam diri dan mencoba melupakan sakit. Aku tahu ketika kita sakit maka itulah cara Allah sedang memberikan peringatan kepada kita. Tetapi bukan berarti harus mengabaikan dan tak mau tahu.

Kematian kakak iparku itu cukup mengguncangkan aku karena penilaian dan definisi keperempuanan yang tidak waras. Perempuan di dalam keluarga mempunyai peran yang sangat penting, jadi apabila kesehatannya tak terperhatika, apa jadinya keluarganya???

Kembali ke persoalan memasak...impresi yang menyenangkan dari memasak hilang perlahan-lahan digantikan oleh tuntutan-tuntutan yang tanpa cinta dan kasih sayang. "Kamu mau jadi perempuan apa??masak saja tidak bisa??" itulah cacian-cacian yang keluar dari mulut banyak orang di sekitarku terutama dari kakak laki-laki. Aku bukan tipe perempuan yang mudah mengalah pada dikte orang lain termasuk keluarga sendiri. Sehingga semakin mereka mendikte maka aku semakin menolak. Kemarahan dan ketidakberterimaan menjadi satu menghapuskan minatku pada dunia masak memasak yang sebenarnya sarat akan kreativitas dan estetika.

Bertahun-tahun kuhapuskan memori dan minat terhadap memasak. Aku selalu katakan pada orang-orang yang mendikteku, bahwa aku tidak akan pernah memasak untuk siapapun termasuk untuk suamiku kelak!! kemudian., kehidupanku berjalan dari dunia pendidikan tahap satu ke tahap lainnya. Memasak betul-betul menjadi kosakata terlupa.

Setiap hari raya, baik idul fitri dan Adha, ibuku selalu berlelah-lelah memasak hingga dini hari. Entah kenapa aku tidak pernah bahagia melihat ibuku seperti itu. Kami lima orang anaknya adalah anak-anak yang perut dan lidahnya dimanjakan sedemikian rupa. Di benakku tak pernah terlintas untuk belajar apa yang selalu ibu masak di hari raya. Meskipun melayani keluarga adalah ibadah, tetapi aku cenderung menilai bahwa memasak penganan di hari raya terlalu berlebih-lebihan. Apalagi hingga ibu terlambat shalat dan mengaji. Sehingga, aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan meneruskan tradisi seperti itu. Bila aku mendapatkan seorang suami yang mencintaiku karena Allah Ta'ala, tentu dia tidak akan mencari istri baru hanya karena istrinya tidak pandai memasak opor ayam!

Seiring dengan berubahnya pemikiranku, perlahan-lahan gunung es itu meleleh, termasuk mengenai definisi memasak. Aku sudah melewatkan fase di mana memasak adalah semacam target satu-satu dalam menjadi perempuan yang benar. Aku tahu bahwa seorang perempuan yang tidak bisa memasak (meski dia telah berusaha keras untuk belajar) maka dia tetap menjadi perempuan yang layak dicintai dan dihormati. Toh memasak ternyata juga merupakan nasib yang setiap orang berbeda-beda. Ada perempuan yang mati-matian memasak tapi tidak pernah nikmat hasilnya. Adapula perempuan yang diberi bakat lebih sehingga tangannya seperti tangan Raja Midas...bahan makanan sederhana bisa menjadi santapan luar biasa nikmat seberharga emas!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun