Mohon tunggu...
Yan Rijal
Yan Rijal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mega, Ibu Demokrasi

11 Januari 2017   18:41 Diperbarui: 11 Januari 2017   18:52 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ibu... Begitulah biasa dia disapa. Sosok perempuan yang lekat dalam panggilan Ibu ini adalah “Ibu” dari para kadernya. Ibu dari jutaan pendukungnya. Perempuan yang lahir di Yogyakarta 23 Januari 1947 ini bukanlah perempuan biasa, seperti kehidupan tak biasa yang dilaluinya melewati sejarah bangsa sebagai putri sulung Proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno.

Namanya telah tercatat dalam sejarah sebagai satu-satunya perempuan pertama yang memimpin negeri ini. Presiden kelima Repubilk ini adalah Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarno Putri atau yang lebih dikenal dengan nama Megawati Soekarno.

Perjuangan panjang yang mengantarkannya hingga ke kursi Presiden sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Perjuangan sang Ibu menduduki kursi nomor satu di republik ini tidak
 mudah. Kemampuan politik yang mengalir dari dirinya membuatnya berhasil memimpin partai politik tersebesar di negeri ini. Meski di awal kemunculannya sang Ibu kerap dipandang sebelah mata dan dinilai tak piawai berpolitik.

Tapi itu semua bisa dibuktikan. Ibu telah membuka ruang kepada kaum perempuan di Indonesia, kalau kaum hawa juga bisa berpolitik dan mampu membangun bangsa.

Ditekan Rezim

Ibu mulai terjun ke dunia politik dengan menjadi Wakil Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat pada 1986. Setahun kemudian, sudah duduk sebagai anggota DPR RI. Ibu duduk di Komisi I. Karier politik Ibu di PDI terus menanjak. Tahun 1993, dalam Kongres Luar Biasa PDI yang diselenggarakan di Surabaya, Ibu terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum.

Dari catatan wikipedia, saat itu pemerintah tidak puas dengan terpilihnya Ibu sebagai Ketua Umum PDI. Ibu didongkel dalam Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, yang memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Tapi Ibu tak gentar menghadapi tekanan, intimidasi dari rezim berkuasa, Soeharto dan para lawan politiknya.  Bahkan Ibu berhasil menjadi primadona.

Perlawanan Ibu dibalas dengan aksi brutalisme. Alhasil, kantor PDI di Jalan Diponengoro 58 Jakarta Pusat direbut paksa massa pendukung Soerjadi ‘dibantu’ aparat kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi 27 Juli 1996. Insiden berdarah yang dikenal disebut Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini tentunya meninggalkan duka mendalam bagi Ibu dan kader PDI dan para pendukungnya.

Peristiwa Sabtu kelabu itu sempat meluas menjadi kerusuhan di wilayah lain sekitar kantor DPP PDI, Jalan Diponogoro, Kramat dan Salemba. Bukan hanya gedung dan kendaraan yang terbakar, tapi juga korban jiwa tak terkecuali kader PDI pendukung Ibu.

Kepengurusan partainya yang kemudian tak diakui pemerintah benar-benar melengkapi duka sang Ibu. Sebagai seorang wanita, tentunya Ibu menangis, melihat hancurnya demokrasi di bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun