Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tangan yang Menadah

27 April 2017   14:07 Diperbarui: 28 April 2017   11:00 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada yang istimewa setiap kulintasi jalan itu. Pagi selalu ramah. Cahaya matahari menyela-nyela daun akasia yang berjajar seperti prajurit di pinggir kiri-kanannya. Penjaja sarapan telah pula menggelar dagangan, dengan gerobak atau hanya meja-meja dengan tenda payung. Ada beberapa rekan yang bersantap nasi uduk, atau sekadar mengopi, melambaikan tangan ke arahku. Biasanya aku hanya membalas dengan “hallo”, tanpa sedikit pun berusaha singgah. Dari rumah, istri sudah meladeni sarapanku. Tak baik katanya sarapan atau makan di luaran sana. Selain belum tentu bersih, dia takut makanan di luaran itu memakai terlalu banyak bahan pengawet pluspenyedap.

Aku juga paling senang berjalan kaki ke kantor yang berjarak lima ratus meter dari rumahku. Kataku bukan lantaran pelit. Melainkan hanya untuk berolah raga ringan agar tubuh tetap singset dan sehat.

Hingga hari ini ada yang berbeda kutemui di bagian tepi jalan. Seorang lelaki seperti lelaki kebanyakan yang malas bekerja. Pengemis! Dia  duduk seperti onggokan kudel di bawah pohon akasia. Tangannya ringkih menadahkan kaleng rombeng. Sesekali dia melagukan sesuatu yang tak jelas. Bila ada orang yang beriba hati melemparkan koin, dia juga melagukan sesuatu yang tak jelas, entah ucapan terima kasih atau sekadar umpatan.

Kendati aku merasa dia menjadi pengganjal keindahan pagi, seibarat tahi mata, namun toh aku tak mau perduli. Aku hanya agak kesal kenapa pemerintah membiarkan orang seperti lelaki itu beroperasi. Memalukan!

“Pak, kasihan, Pak!” Dia seolah menyetop langkahku. Kulihat ada lalat mengitari koreng di kakinya. Pagi ini istriku tak menyediakan sarapan karena dia buru-buru ke rumah mertua entah untuk urusan apa. Jadi, aku hendak sarapan di warung gado-gado. Tapi niat itu musnah sudah gara-gara pengemis itu. Padahal sejak bangun tadi, perutku sudah bernyanyi.

“Eh, tak biasanya pagi-pagi sudah di kantin? Tak sarapan, ya?” ledek Mijan begitu kuputuskan memilih kantin kantor sebagai pemuas lapar. Kantin kantor sedikit sepi. Jam masuk hampir sepuluh menit lagi.

“Istri lagi ada urusan!” jawabku pelan.

“Kenapa? Kalian lagi berantem?”

“Kataku ada urusan!”

Mijan terdiam.

Aku harap kejadian hari ini tak berulang esok hari. Betapa mengkalnya hati memulai pagi tanpa sarapan. Melewati jalan yang diganggu oleh seorang pengemis. Mendapat ledekan Mijan. Uh! Mijan usil juga perkara aku tak membawa bontot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun