Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Patung Lek

20 April 2017   09:44 Diperbarui: 20 April 2017   09:54 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak perlu menceritakan kepadamu di mana dia tinggal. Karena itu mungkin bisa membuat beberapa orang tersinggung. Tapi kisah ini memang terjadi kepada Lek, seorang lelaki berumur sekitar empatpuluh tiga tahun. Lelaki yang menjadi ayah tiga orang anak. Lelaki yang menjadi suami seorang istri berpenyakit tbc. Dan dia sungguh bukan berasal dari kalangan atas. Dia hanya si kere yang mencari penghidupan dari tumpukan sampah masyarakat. Mengumpulkan plastik-plastik, beling-beling, kaleng aluminium, kardus-kardus, dan beragam benda busuk yang segera dijual ke tengkulak barang bekas.

Bisa jadi karena kehidupan Lek yang menyedihkan, akhirnya menimbulkan inspirasi bagi Yansen, yang tahun ini ikut bertarung menjadi calon raja. Seperti rival-rivalnya yang memiliki segudang visi-misi, serta beragam kedustaan, Yansen juga ingin berbuat serupa. Namun dia tak mau sibuk dengan program-program seperti pengentasan kemiskinan, berobat dan sekolah gratis, memberantas pengangguran (yang diberantas sih individu, bukan kepenganggurannya), dan seabrek lips services. Dia akan membuat sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menggelitik, sehingga orang banyak tanpa sadar menyimpan namanya di benak mereka, lalu mencontreng Yansen, bernomor urut lima, pada masa pemilihan raja yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

Maka itu, hari ini diam-diam dia menemui Lek di rumahnya yang ringkih. Kedatangan Yansen, jelas membuat berita tersebar sedemikian cepat. Menyemutlah orang di halaman rumah Lek yang becek dan banyak cacing. Mereka takjub karena Yansen, sang calon raja yang dikenal sebagai selebritis itu, tak dinyana rela turun panggung mendatangi Lek.

Sebagai jelata, Lek juga terkejut sekaligus tersanjung. Merasa memiliki naluri kemanusiaan, cepat-cepat dia mengenakan pakaian terbaiknya. Anak-istrinya disuruh mandi lekas-lekas, lalu berpakain sebagus dirinya (meskipun sesungguhnya amat jauh dari taraf bagus). Dia juga mati-matian meminjam gula-kopi ke tetangga. Mencabut ubi Wak Dohar yang belum siap panen beberapa batang. Aneh sekali tiba-tiba Yansen menampik dengan halus semua sambutan Lek dan keluarganya.

Katanya, “Saya ke mari hanya ingin bersilaturahmi dengan Bapak! Saya ingin menjadikan bapak dan keluarga sebagai icon perjuangan saya demi rakyat banyak. Rakyat-rakyat miskin seperti bapak dan yang lainnya.”

“Wah, Pak Lek jadi selebritis juga, yo!” celetuk seseorang dari kerumunan.

Icon itu apa, Pak? Sebangsa ikan?” tanya Lek yang memang tak tahu apa-apa karena buta huruf.

Yansen tak menjawab, selain melemparkan senyum bersahabat. Kemudian dia menyuruh Lek anak-beranak, mengganti pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian paling buruk. Tentu saja Lek sekeluarga heran. Tapi sebagai jelata, mereka tak boleh mengajukan pertanyaan-pertanyaan, selain mengangguk saja tanda “iya”. Menggeleng juga pantangan.

Mereka mengikuti kehendak Yansen. Bahkan tatkala disuruh berkumpul di lapangan bola, diiringi kerumunan warga, Lek anak-beranak hanya membisu. Begitu pula ketika truk-truk pengangkut tanah, pasir, batu-batu, besi behel, memuntahkan isi perutnya di hadapan mereka, Lek sekeluarga tetap membisu. Beberapa orang lelaki bertelanjang dada dan bercelana pendek, datang membawa sekop, cangkul, ayakan serta berbagai perlengkapan tukang. Barulah Lek mengajukan pertanyaan yang mendidih di hatinya, “Kami mau diapakan, Pak?”

Yansen tak langsung menjawab. Semenit kemudian, barulah dia berbicara seperti berpidato, “Saudara-saudara, sebagai niat suci saya demi mensejahterakan rakyat, maka saya membangun patung-patung Pak Lek sekeluarga. Saya ingin menunjukkan potret kumuh kehidupan masyarakat miskin yang menjadi bunga bangkai negara ini. Jadi, saudara-saudara, pandanglah patung-patung itu kalau sudah selesai. Ingatlah kalau saya terpilih menjadi raja, saya akan merubuhkan patung itu. Artinya, rakyat miskin harus dibangkitkan menjadi orang-orang kaya dan bermartabat.”

“Horeee! Horeee! Horeee! Hidup Pak Yansen! Hidup calon raja kita,” teriak orang-orang sambil melambai-lambai ke arah Yansen yang menghilang di dalam mobil Fortuner hitam. Sementara para tukang mulai sibuk mengaduk semen, batu dan pasir. Sebagaian merangkai besi-besi behel. Sementara seorang lelaki melambai mengatur gaya Lek sekeluarga di bawah terik matahari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun