Aroma musim semi menjamah kisi jendela. Bau roti panggang meningkahi. Aku  menggeliat, melihat Ikaru sedang sibuk menata meja makan. Pipinya merah padam bekas disentuh hawa panas pemanggangan. Sebentar aku melihat ponsel.  Tanggal tiga puluh satu Maret, pukul tujuh lewat.
Kyoto sedang baik pagi ini. Aku berjalan menuju jendela. Bunga sakura indah bermekaran. Kuhirup dalam-dalam kesegaran ini, lalu bersemayam di paru-paru. Hmm, mungkin sesegar ini bunga rumput berselaput embun nun di kampung. Aroma sawah siap panen. Betapa indah bunga sakura memainkan melodi perasaan.
Sebuah dagu runcing tetiba menindih bahuku. Hembusan napas beraroma menthol menguar. Pipi merah padam itu hampir menyentuh cuping telingaku. Perlahan kukucek rambutnya. Wangi kopinya seolah membutakan. Apakah cintaku akan terjebak? Â Jangan bermain api, Papang!
"Makan, yok! Sarapan pagi ini  spesial tanpa ikan mentah. Kau selamat!"
"Iyalah. Aku tak ingin muntah lagi seperti kemarin." Saya mengekorinya menuju meja makan. Potongan roti panggang aku celupkan ke dalam susu hangat.
Apakah aku terlalu nakal ingin mengicip nasi pindang? Di mana mencari makanan asing itu di kota ini? Ikaru memukul bahuku, mencubit gemes pipi ini. Dia menggoda, aku terlihat lebih chubby.
Ikaru bekerja di Hisaka, perusahaan besar ball valve. Seorang perempuan Jepang  ramah dan supel. Selain cantik, dia lumayan cerdas. Cerdas pula mengaduk hatiku. Haruskah aku tertambat di negeri sakura ini gara-gara dia? Andai Matsuda mengajakku tinggal di apartemennya, mungkin aku hanya menganggap Ikaru sebatas rekan bisnis.
Sejujurnya, aku tidak kekurangan uang dinas untuk menginap di hotel super mewah. Tapi Ikaru  memaksaku tinggal di rumahnya. Brengseknya, rumah Ikaru terletak di lautan bunga sakura. Siapa yang sanggup menolak ajakan indah ini?
"Tapi tak harus tinggal serumah dengan perempuan single, kan?" Waktu itu aku mencoba mengelak. Aku risih serumah dengan perempuan yang bukan muhrim. Takut terjadi apa-apa.
"Papang, selama kita tak melakukannya, tak masalah, kan? Kalau kau menolak ajakanku, itu artinya secara tak langsung kau melukai hatiku." Dia seperti tahu apa yang melintas dalam pikiranku. Siapa coba yang tak jatuh hati dengan perempuan semenarik dia? Beruntung aku punya senjata andalan, sebuah foto Mira, agar sewaktu-waktu aku ingat sudah bertunangan dengan perempuan itu.
Ikaru membersihkan mulutku dari serpihan roti. Dia melakukannya telaten sambil mengomel; aku jorok. Semakin kusapukan roti mengotori mulut ini. Sengaja, agar tangan mungilnya lebih lama bergerilya.Â