Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kecoak Tumbuh di Kepala

11 Oktober 2019   16:22 Diperbarui: 11 Oktober 2019   16:30 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Saya memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan. Mengernyit, dan memegang dagu. Tampak ada yang keliru dari gambar bagian atas gedung itu. Tapi di bagian mana? Imajinasi arsitek saya buntu. Apa yang harus saya lakukan? Minum kopi atau bir? Heh!

Saat itulah pintu berderit. Seorang anak perempuan berambut kusut membukanya. Saya memicing kurang senang. Apalagi mau anak ini! Saya melirik jam dinding. Pukul sebelas lewat. Hmm, sudah sangat larut! Apakah dia masih ingin didongengi “si kancil dan buaya”?

"Pa!" Mulut mungil itu bersuara. Aku malas menjawabnya. "Adek tidur di sini aja, ya? Kamar adek banyak kecoak. Takut..."

"Jangan ganggu papa! Papa lagi banyak kerjaan. Sana tidur di kamarmu saja!"

"Tapi..."

"Tapi apa? Apakah kecoak sanggup memakanmu? Pencet saja, selesai!" Saya mengibaskan tangan, menyuruhnya pergi. Perlahan dia mundur teratur, lalu menghilang.

Apa ya yang saya pikirkan tadi? Pikiran ini menjadi kacau. Saya beranjak ke tepi tempat  tidur, menghabiskan bir yang tersisa seperempat botol. Sembari minum, saya memikirkan anak perempuan itu.

Sejak ibunya minggat dibawa brondong, sayalah tempat dia bergantung. Ya, menjadi ayah, sekaligus ibu. Saya kira itu pekerjaan mudah. Hanya sepersekian persen dari pekerjaan rumit di kantor. Semua bisa diselesaikan dengan uang. Maka saya tambah dua orang pembantu. Seorang khusus melayani Putri---itu nama anak saya---di dalam rumah. Seorang lagi untuk melayaninya di luar rumah. Semudah itu, kan?

Hingga di hari kedua tanpa istri, saya terkejut, Putri tak bisa tidur cepat bila tak didongengi. Selama ini istri melakukannya. Saya lakoni tugas berat itu, meski amat jenuh, membuat saya mengantuk. Menjadi pendongeng saya jalani hampir tiga bulan.  Saya merasa kembali seperti anak-anak. Entah sebab itu jiwa arsitek saya hilang setengah. Bos sampai geleng-geleng melihat pekerjaan saya lamban. Dia mengancam akan melambankan gaji saya. Sampai sejauh itukah?

Dan masalah kecoak itu, saya kira Putri hanya main-main. Malam ini dia sekadar protes kenapa saya absen mendongeng. Mana mungkin anak umur dua belas tahun masih takut dengan kecoak? Meski sebenarnya saya amat geli melihat hewan menjijikkan itu. Kerjaannya menyampah saja. Menyebabkan kotor dan juga penyakit. Tapi apakah di rumah ini ada bianatang yang namanya kecoa? Saya putuskan Putri hanya main-main. Katakanlah upaya balas dendam karena saya mencuekkannya.

Saya akui, sepeninggal Inge, istri saya, dia kekurangan kasih-sayang. Boleh dibilang amat sangat. Bahkan dari sebelum Inge minggat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun