Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dan Padi Itu Rebah

27 September 2019   11:21 Diperbarui: 27 September 2019   11:49 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Badar tersenyum ketika Dosen Kadi memindahkan tali toga dari kiri ke kanan. Seketika membayang di matanya padi-padi yang terhampar di desa. Laksana permadani. Entah di mana ujungnya. Dari timur ke barat. Mengelilingi desa yang selalu saja seperti lambat bangun karena kabut masih setiap bergelung dingin.

Tapi, kau salah. Menjelang shubuh, para lelaki sudah beraktifitas di sungai yang membelah desa itu dengan desa seberang. Para perempuan tak mau ketinggalan, memulai hari dengan menyesap kesegaran air gunung yang jatuh di pancuran. 

Setelah Azan Shubuh semua menghadap sang  Khalik, berjamaah, berjenjang-jenjang. Sekitar pukul enam, para lelaki akan naik ke bukit menyadap karet, atau merawat kopi yang mulai berbunga. Sementara setelah kabut hilang, perempun-perempuan bertarung di persawahan seperti tak kenal lelah.

Ke situlah Badar akan memaculkan hidupnya. Mata pacul sudah dia asah tiga tahun setengah. Cukuplah mengembalikan marwah desa sebagai daerah agraris. Ayahnya sudah memastikan dia harus pulang  setelah mendapat  gelar  sarjana pertanian. 

Itu dia katakan setahun lewat. Sebab orang desa banyak yang urbanisasi ke kota. Tergiur gemerlap malam dan lenggak-lenggoknya. Sawah-ladang terbengkalai. Hidup segan, mati tak mau.

"Selamat, ya, Dar!" Perempuan berlesung pipit itu tegak di depannya.   Badar tergagap. Dari tadi para dosen melihat bingung karena dia belum kembali ke bangkunya. "Ayo, duduk lagi, Dar!"

"Eh, Oh." Dia menurut seperti kerbau dicocok hidung. Tak bereaksi apa-apa. Bahkan ketika di dalam mobil yang mengantarnya pulang, dia bergaya bak patung. 

Saat mobil singgah sebentar di restoran sekadar pesta kecil-kecilan, dia tetap membisu. Dia sesekali seakan terpaksa tersenyum, sehingga Ninda merasa kehilangan ceria Badar di hari ceria ini.

Setelah sendirian di kamar kosnya, hati Badar mulai bimbang. Bagaikan makan buah simalakama. Bila dia kembali ke desa demi memaculkan ilmunya, Ninda mungkin menolak. 

Dia perempuan milenial yang melompat dari pesta ke pesta. Dia terbiasa di lingkungan gemerlap. Apa mungkin seorang foto model yang biasa bergaya di atas catwalk, mau berpose di tengah sawah bersama kerbau pembajak?

Bila Badar tetap berada di kota, sebuah ruangan mentereng telah menunggunya. Meja asisten manager  siap sedia. Itu janji ayah Ninda saat di kampus tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun