ayah, hadirmu adalah peluk yang dalam
dari peluh yang mengajarkanku
mengerti bagaimana susahnya
menjadi lelaki, juga perempuan
dalam hidup penuh romantika
ketika kau seduhkan secangkir mie
kutahu kau telah melepuhkan tangan
dengan didihnya air kehidupan
ketika kau adukkan 'ku sebotol susu
kutahu matamu berat melihat gelap
ketika tidurmu terbelah lelap
tapi sempatmu membunuh kenikmatan dunia
untuk seorang anak yang memanggilmu
ayah atau emak
kau lihat airmata yang menelaga ini, ayah
kau lihat palung cinta ini, ayah
tetapi aku tak sanggup menggantikannya
pada lelahmu yang menggelayut mata
hingga sekarang kau terbuang dari kenikmatan dunia
lebam dalam lapik lusuh
bersama tubuh lunglai terbalut kulit masai
yang melupakan segala kegagahanmu dulu
kau lihat cita-cita di puncakku, ayah
kau lihat gunung harap ini, ayah
mengajakmu berjalan mengelilingi kabbah
dan mengatakan padaku; wajahmu begitu suci, nak
tetapi aku hanya menuliskannya di sebuah karcis
tanpa dapat menerakan namamu di sana
karena keluhmu hanya memanggilku terbata
ayah, hanya terngiang batinku berkata;
cepat sembuh
cepat papah tanganku sehingga kita bermain seperti
dulu, di taman tempat kau semayamkan bunga
di manik mataku
dan jangan biarkan kupapah jemarimu
tersebab kau adalah segagah segalanya
seperti kuingin
itu berlaku selamanya
Ujung Kata, 919