Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Betis Ken Dedes

23 Juli 2019   12:53 Diperbarui: 23 Juli 2019   15:09 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Angin berpusing. Debu menggasing. Irama dangdut lambat laun menjalar dari satu rumah ke rumah lain sejak Azan Shubuh. Bermula kecambah, lalu membesar. Merimbun memayungi Lorong Combro. Sesuatu yang lazim terjadi setiap pagi---perdebatan kecil berebut kamar mandi umum, hingga pertengkaran besar mempertahankan hak buang sampah perut di kakus, juga umum---mewarnai pagi, dan menambah lezat rasa kopi dan kepingan ubi.

Agar faham cerita, dulu lorong itu hanya sampah kota. Sesuai dengan namanya; Lorong Upil, meski kecil tapi mengundang tangan jahil. Pemerintah kota, bahkan pernah ingin menghapusnya dari peta. Hanya saja seiring pergerakan sporadis masyarakat dari kampung ke kota, perlahan lorong itu berbenah.

Entah siapa yang memulainya, pekerjaan warga di situ merata membuat dan menjual combro. Bila fajar muncul malu-malu di suatu  punggung bukit, hanya kabutlah yang menjalar di antara rimbun daun. Lain pula lorong itu, mulai disekap bau penggorengan. Aroma combro menjelanak dari setiap pintu. Pun setiap gerobak akan terseok keluar. Berjejer di depan setiap rumah. Para emak akan menjerit mengimbangi letup penggorengan, agar sang laki segera bangun, meski masih tersisa kantuk bekas memirit kartu semalam.

Saatnya berkokok menjajakan combro. Tugas untuk mengukur jalan panjang kota, meningkahi macet dan jerit klakson.

Tapi ada yang aneh tiga pagi ini. Para laki entah kesambet apa, lebih pagi bangun. Lebih pagi menjajakan combro. Bukan buatan senangnya para emak. Laki ligat mencari nafkah. Sudah tiga hari pula para emak membuang napas puas sambil berkipas uang merah. Untung besar!

Seperti pagi ini, para laki perlahan mendorong gerobak mendekati bedeng kontrakan. Semangat di wajah mereka membara.

"Aku pernah belajar sejarah," kata Samian memulai obrolan.

"Tentang apa?" Kawan lain menanggapi.

"Tentang Ken Dedes."

"Betisnya maksudmu?"

"Apalagi? Aku tak tahan memikirkannya terus. Sampai termimpi-mimpi. Aku sering membayangkan mengelus betis itu saat membasuh singkong mulus sebelum diparut."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun