Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ibuku Sayang Ibuku Malang

2 Juli 2019   22:17 Diperbarui: 2 Juli 2019   22:17 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Aku hidup di tengah keluarga yang timpang. Maksud timpang di sini, karena sejak aku lahir, ayah telah meninggal dunia. Otomatis ibu menjadi petarung yang tangguh; single parent. Dia mengarungi hidup demi membiayai aku dan Loan (nama samaran abangku) sebagai penjual kue basah di pasar. Dia membuat kue-kue sebagian dengan berkutat sedari jam tiga dini hari sampai selepas shubuh. Mengadon resep, memasak, kemudian menatanya di wadah plastik. Memang tak semua kue basah yang ibu jual mutlak dimasak oleh tangannya yang trampil. Ibu pasti tak sanggup bekerja sendiri. Maka demi menambahi kue-kue itu dia sering juga menerima titipan tetangga, atau ke industri rumahan yang memang khusus membuat panganan seperti yang ibu jual.

Itulah yang menyebabkanku sangat bangga dan menyayangi ibu. Ibu adalah segala-galanya. Setetes saja air mata kedukaan terbit di ujung kelopak matanya, membuatku sedih tiada terkira. Maka aku selalu berusaha menyenangkan hatinya. Meski sering dilarang, dari umur enam tahun aku sudah membantu ibu setiap dini hari dengan mata yang amat berat terbuka. Tapi aku tetap berusaha.

Itulah yang akhirnya menyebabkanku sering bertengkar dengan Loan. Dia, sebagai anak tertua di keluarga kami, bukannya membantu kesusahan ibu, malahan sering menerbitkan kedukaan perempuan yang telah melahirkan dan memperjuangkan hidup kami itu. Loan sangat bandel. Ketika dia sudah bersekolah, selalu saja ibu mendesah kesal karena hampir setiap minggu ibu guru datang ke rumah melaporkan kenakalan Loan. Abangku itu suka terlambat masuk ke kelas, senang memukuli teman, melawan guru, merusak inventaris kantor. Pokoknya, banyak. Dan setiap kali dia ada di rumah usai ibu mendapatkan laporan kenakalannya dari guru, aku langsung memarahinya. Tentu sebagai abang dan lumayan bongsor, dia tak mau diam. Sering di sela-sela marahku, Loan memukul wajahku. Untung saja ibu melerai. Uh, anak durhaka! Begitu aku sering mengatai Loan. Dia seorang anak yang tak menyayangi ibu yang telah membesarkan dan menyekolahkan kami dengan susah-payah.

Beruntunglah setelah usia Loan menginjak sepuluh tahun, dan aku telah duduk di kelas dua esde, perangainya mulai berubah. Guru-guru mulai jarang ke rumah demi melaporkan kenakalannya. Aku juga tak lagi sering bertengkar dengannya. Hanya saja urusan membantu ibu berbisnis kue-kue basah, tak pernah sekali pun dia lakukan. Menurutnya itu pekerjaan perempuan. Dan ibu hanya tersenyum ke arahku. Kata ibu, biarlah Loan tak mau membantu ibu, yang penting dia tak nakal lagi.

Tuhan akhirnya menunjukkan kekuasaan-Nya. Setamat aku esde, usaha kue-kue basah yang dirintis ibu sekian lama, bertambah maju. Ibu telah memiliki gudang tempat khusus di belakang rumah untuk  membuat kue-kue tersebut. Dia juga sudah mempekerjakan tiga orang perempuan. Kue-kue  basah buatan ibu tak lagi dibawa ke pasar. Melainkan pembelilah yang datang ke rumah. Dari mereka yang sekadar membeli untuk dikonsumsi pribadi, sampai pedagang. Aku pun tak lagi dibolehkan ibu membantunya membuat kue-kue itu. Dia hanya berharap aku belajar dengan giat agar kelak bisa menjadi orang sukses.

Saat aku duduk di bangku SMA, ibu benar-benar telah menjadi perempuan pebisnis. Dia mulai jarang di rumah siang hari. Semula ibu hanya membuat kue-kue basah. Tapi demi menaikkan taraf hidup kami ke jenjang lebih tinggi, dia juga mulai menbuat kue-kue kering, yang dipasarkan ke toko-toko. Alhasil, Loan yang merasa tak diawasi ketat oleh ibu, mulai bertingkah. Aku sering memergokinya merokok di kamar. Kuingatkan dia. Tapi dia tak merasa bersalah. Dia malahan mengancam akan memukulku bila mengadu kepada ibu.

Aku takut. Loan membuktikan ucapannya. Maka kudiamnkan saja dia merokok di kamarnya. Dari sebatang, dua batang, hingga berbungkus-bungkus. Namun ketika dia mengambil uang di kamar ibu untuk membeli rokok, aku berontak. Aku mengadu kepada ibu. Loan yang geram sudah mengelus-elus kepalan tangannya. Aku tahu dia akan memukulku. Hanya saja, ketika ibu bertanya kenapa Loan memanggil uang ibu, Loan berkilah bahwa uang itu akan digunakannya untuk membeli buku sekolah.

Ibu memaafkannya, sehingga aku hanya dapat menggerutu. Memang Loan tak jadi memukulku. Namun dengan dibela ibu seperti itu, otomatis dia akan terpancing mengambil uang di kamar itu lebih dan lebih banyak. Beruntung dia akhirnya menghentikan kebiasaan buruknya, hingga sekali waktu aku memergokinya membawa perempuan ke kamarnya. Kali itu Loan tersentak. Dia meminta dengan sangat agar aku tak menceritakan perbuatannya kepada ibu. Tapi aku tak mau. Sebagai wujud emosinya yang tak terkontrol, dia mengeluarkan pisau dari balik pinggangnya. Katanya kalau aku macam-macam, mata pisau itu akan berujung di perutku. Aku ngeri. Aku tak ingin celaka, sekaligus membuat ibu stress karena melihat kelakuan anak-anaknya ini.

Kejahatan-kejahatan lain pun bermunculan. Setelah Loan memasukkan perempuan ke kamarnya, dia juga sering membawa vcd-vcd porno, kemudian menontonnya bersama teman-temannya. Dia tak mengancamku agar jangan sampai mengadu kepada ibu. Tapi dari tatapannya yang tajam, aku tahu dia mengancam sangat keras. Aku pun seperti hari-hari sebelumnya hanya dapat menggerutu.

Puncaknya dia berkelahi di pasar sehingga dibawa ke kantor polisi. Ibu sampai kebingungan setengah mati. Akhirnya ibu jatuh sakit. Beruntunglah Loan hanya mendekam sehari di kantor polisi. Begitu dia pulang ke rumah, alhmadulillah ibu berangsur sehat. Ibu menasehati Loan agar bisa menjaga sikap dan tingkah-laku. Loan mengiyakan. Dia berjanji akan menjadi anak yang baik.

Tapi janji tinggal janji. Di hari lain aku melihatnya merokok di kamarnya sampai matanya memerah. Pekerjaan yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Tapi kali itu lain dari yang lain. Dia bukan merokok sigaret seperti yang dijual bebas di pasaran. Tapi dia menghisap ganja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun