Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjebak Hutang

19 Juni 2019   14:59 Diperbarui: 19 Juni 2019   15:08 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Kehidupan keluargaku taklah lebih baik dari masyarakat di sekiling kami. Ayah-ibuku hanyalah peladang yang sehari-harinya berharap sayur-mayur bertunas lebat dan cuaca selalu bersahabat. Saat paceklik tiba, maka urusan yang terpenting adalah meminjam uang kepada rentenir. Begitu panen datang, dengan sayur-mayur membukit, maka seketika keadilan seolah tak berpihak kepada kami. Harga hasil ladang sedemikian cepat jatuh di pasaran. Itulah yang menyebabkan lelah berbulan menggarap ladang, tak terpuaskan oleh panen yang membanggakan sekalipun.

Kondisi kami semakin tercekik manakala ibu mengidap penyakit menakutkan. Kata dokter spesialis penyakit dalam, dia terkena gejala gula darah. Terpaksalah ayah pontang-panting mencari hutangan. Berbagai rentenir menawarkan jasa dengan sistem pembayaran yang menjebak. Untung saja ayah buru-buru menolak. Kalau tak, jangankan ladang kelak bisa tergadai, rumah pun bisa lepas dari genggaman.

Di tengah kemelut yang menimpa keluargaku, tiba-tiba Sam muncul sebagai dewa penolong. Dia memang seorang rentenir di daerah kami. Dia berasal dari kota Jakarta, memiliki harta yang melimpah. Berbeda dengan rentenir kebanyakan, dia orang yang pemurah. Dia pendatang baru di daerah kami.

Dia menawarkan ayah sejumlah uang untuk biaya perobatan ibu. Bahkan dia tanpa tedeng aling-aling ingin mengajak ibu berobat ke ibukota. Kebetulan dia mempunyai kerabat di sana yang ahli menangani penyakit gula darah.

Ayah takut niat baik Sam hanyalah topeng di balik niat busuknya. Tapi lelaki itu meyakinkan ayah, bahwa semua hutang kelak bisa dibayar sesuai jumlah awalnya. Artinya dia tak menerapkan bunga uang kepada ayah. Mengenai tawaran mengajak ibu berobat ke Jakarta, segala ongkos dia yang bayar. Kecuali perobatan tentunya.

Setelah berembuk, kami akhirnya memilih meminjam sejumlah uang kepada Sam. Mengenai tawarannya mengajak ibu berobat ke Jakarta, kami pikir tak perlu. Biarlah ibu berobat di daerah kami saja.

Seiring waktu yang bergulir cepat, Alhamdulillah kondisi ibu berangsur membaik. Setelah ditotal-total biaya perobatannya, boleh dibilang melampaui sepuluh juta rupiah. Jumlah yang sangat besar bagi kami orang rendahan. Namun Sam tak pernah mengungkit-ungkit masalah pembayarannya. Niat ayah menggadaikan ladang kami kepadanya, pun dia tolak.

Suatu hari ketika kami sedang berbincang di teras rumah, tiba-tiba Sam datang. Awalnya dia hanya berbasa-basi menanyakan kabar ibu. Kemudian dia mengutarakan  niat melamarku. Jelas saja kami semua sangat terkejut. Bagaimana mungkin dia berniat melamarku, sementara informasi yang kami ketahui, dia sudah memiliki istri.

Ayah takut-takut menolak keinginannya. Namun Sam yang semula kami kenal sebagai lelaki pemurah dan tak temperamen, kiranya marah besar mendengar jawaban ayah. Dia mengungkit-ungkit masalah hutang dan penyakit ibu. Dia membeberkan bahwa sepeser pun kami belum pernah menyicil hutang tersebut. Ujung-ujungnya dia berkata akan berbuat nekad bila keinginannya tak dituruti.

Sejak itu kami risau. Sam memang tak muncul-muncul di rumah kami selama lima belas hari. Di hari ke enam belas, dia datang membawa selembar surat fotokopian. Entah benar apa tidak, dia mengatakan telah melapor ke polisi masalah hutang-hutang yang belum kami bayar. Tapi andaikata niatnya kami kabulkan, dia rela mencabut pengaduannya itu.

Kami sebagai orang miskin dan kurang pendidikan, tak ingin berurusan dengan hukum yang pasti njlimet. Belakangan ayah menyutujui kehendak Sam. Dia juga mulai kasak-kusuk membujukku agar bersedia dilamar lelaki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun