Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teringat Monas

9 Juni 2019   13:42 Diperbarui: 9 Juni 2019   13:46 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Tak salah kau mengenal Monas. Barangkali kau berpikir dia orang kaya, karena Monas identik dengan emas. Mungkin kau benar. Tapi lebih banyak salahnya. Benar dia hampir memiliki emas, karena giginya merata kuning. Beragam cara orang tuanya agar warna kuning bersalin warna menjadi putih. Tetap saja usaha mereka gagal.

Ketika gigi Monas tanggal, gigi itu tak layak mendiami toko emas  Ko Xang Yoh. Monas melemparkannya ke atap ijuk rumah Murad, agar belalang tak melihat dan memakannya. Seluruh gigi Monas bisa rapuh, juga hitam, apabila mendiang gigi itu dilahap belalang. Entah darimana dia mendapat mitos lucu itu, aku sendiri tak ambil pusing.

Di antara kanak-kanak di kampung kami, tubuh Monas paling bongsor, kendati usianya masih muda. Dia pula yang paling senang berbuat hal menyerempet bahaya. Misalnya, setelah kedinginan di Sungai Bariba, tentulah perut- perut mungil ini bukan main laparnya. Bukan main pula mata-mata bening membola, melihat timun-timun muda menyemak di ladang Opung Samsir. Monas yang memberi komando pasukan bergerak sporadis melantak ladang Opung Samsir.

Kau tahu, si opung yang sedang membersihkan gulma, bukan main gosong marahnya. Tumbuh pula tanduk setan di kepala opung. Kami akan berlari tunggang-langgang dan girang. Si bongsor Monas berhasil merampas lebih lima buah timun muda. Kami akan membaginya di kolong rumah Suef. Tentu saja setelah mengambil ransum dari rumah masing, berlauk ikan asin, atau paling mewah ikan sarden sambal. Puaslah kami bercap-cup, hingga hampir semua pipi berlepotan ingus.

Apakah kami akan sangat ketakutan kepada Opung Samsir? Lagi-lagi kau salah besar. Malam hari kami berlapau. Lapau satu-satunya di kampung kami adalah milik Opung Samsir. Agar ada alasan tak diusir orang tua sebab tak sepantaran, kami mengajuk dibelikan mie instan rebus. Jadilah, menyantap mie darurat yang mewahnya selangit. Mie instan diremas-remas, lalu ditempatkan dalam mangkok ayam beserta bumbu-bumbu. Ditabur pula kripik sambal. Kemudian Opung Samsir menuangkan air panas. Terakhir mangkok ditutup piring kecil.

Tak jarang saat asyik menghempas dam batu dengan kawan-kawannya, Opung Samsir sering bercerita tentang ladangnya yang luluh-lantak dihajar anak-anak nakal. Dia tahu siapa anak-anak nakal itu satu per satu. Dia juga kenal dekat orang tua mereka. Hanya saja cerita Opung Samsir tak sampai mendetail. Jika sampai mendetail, alamat telinga kami panjang seperti telinga kelinci akibat dijewer ayah. Opung Samsir cuma mengobrol kosong.

Kau mungkin menebak aku ingin bercerita masa laluku di kampung. Lagi-lagi kau salah tebak. Ini sudah yang ketiga. Kalau sampai empat kali, kau akan mendapat hadiah panci.

Kita kembali kepada Monas. Cap nakal sudah melekat di badannya setelah tumbuh gigi. Bila jambu mawar Mak Saua banyak hilang, pastilah Monas maling kecilnya. Belum lagi ladang Opung Samsir nyaris setiap hari dia lantak. Telor-telor ayam yang hilang di petarangan, pastilah Monas pelakunya. Pernah sekali telor ayamku hilang. Mak marah-marah, langsung mengancam akan mematahkan kakiku bila masih berkawan dengan Monas. Untung saja malam harinya ayah memergoki musang menyatroni petarangan. Alhasil, aku masih bisa berkawan Monas.

Meski cap yang jahat-jahat melekat pada diri anak itu seibarat daki, semua kekanak senang berkawan Monas. Bila berhubungan dengan harga diri  teman sepermainan, Monas sanggup berjuang sampai berdarah-darah. Jika bukan karena semangat banteng, mustahil kami bisa mengalahkan kekanak kampung sebelah dalam pertandingan bola kaki. Perjuangan Monas sepenuh jiwa.

Saat Surip mematahkan pensilku saat pulang sekolah, Monas sukses mematahkan hidung anak itu. Sukses pula Monas beroleh skorsing selama sebulan, plus telinga sebesar tampah karena dijewer Pak Tupang. Hahaha, kasihan kau Monas. Tapi, aku wajib berterima kasih, karena secara tak langsung dia selalu menjaga badan dan hatiku hingga tamat SMA.

Timbul masalah ketika aku akan mengikuti penataran guru di Jakarta. Tak ada tempat bertandang satu-satunya selain di rumah Monas. Kau tahu, aku merasa risih bertandang di rumahnya? Sudah tak rahasia lagi sas-sus kelakuan Monas hampir mirip masa kecilnya. Dia sekarang menjabat panitia lelang di PU Bina Marga. Lahan basah yang sangat menggiurkan. Monas selalu memenangkan peserta lelang yang bisa memberikan uang pelicin. Itulah sebabnya aku risih. Seorang guru agama tinggal di rumah hasil mengaut dosa, pantaskah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun