Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Minggat

10 April 2019   13:08 Diperbarui: 10 April 2019   13:45 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Burung-burung terbang rendah. Pagi berlalu ramah. Seramah orang-orang turun ke sawah. 

Panen padi kali ini mungkin lebih mewah dari panen sebelumnya, pikir mereka Lihatlah, bulir-bulir membunting itu. Batang-batang merunduk menahan beban. Terbayang bakalan lumbung akan sesak. Kebutuhan hidup berbulan ke depan, tak lagi membuat susah.

"Kalau sudah panen, Ijon sekolah ya, Mak!" 

Ijon, bocah kecil usia delapan tahun. Seharusnya hari ini dia bersekolah, bukan membantu bapak-ibu di sawah. Musim lalu, kondisi panen padi parah. Paceklik hebat. Ijon tak bersekolah terbentur biaya. Janji ibu, panen kali ini dia akan bersekolah. 

"Iya, Nak. Mudah-mudahan panen padi berlimpah!" Ibu menatap langit. Tak ada mendung. Terbungkuk pula dia mengikuti bapak mengarit padi. Ijon mengangkut batang-batang padi yang sudah diarit ke tempat lapang, membentuk lingkaran mengikuti batang-batang padi yang lebih dulu diketam.

Peruntungan dari sawah adalah cara terbaik menyambung hidup bagi mereka. Tak ada yang lain, meski mereka---bahkan hampir seluruh penduduk kampung---mencoba berjudi dengan berkebun kopi atau getah, tapi selalu kalah. Pun ketika dikirimkan pemerintah pusat bantuan hewan ternak, semua akhirnya mati. Retak tangan mereka petani. Dari buyut sampai kakek-nenek. Entah mengapa mereka tetap miskin. Ketika paceklik tiba, selalu rentenir menjadi pilihan terakhir.

Kemasygulan nasib Ijon, membuat mereka sedih. Meski mereka tahu rata-rata anak-anak kampung jarang bersekolah. Kecuali tentu saja keturunan orang berada, seperti anak kepala desa, anak tauke mesin giling padi. Tapi niat kuat Ijon---bahkan dengan tanya kapan dia bersekolah---seperti peluru-peluru melesak dada. Ijon tak ingin bertumpu menjadi petani seperti bapak-ibu. Ijon ingin menjadi guru. Perkara tani, biarlah dijadikan sampingan, atau diburuhkan kepada orang lain. 

"Ijon ingin seperti Pak Sanib!" katanya menyebutkan lelaki satu-satunya yang menjadi guru di kampung mereka.

Maka bergoni padi dijual ke tengkulak. Beberapa lagi dimesinkan untuk dijadikan beras. Wajah bapak-ibu Ijon cerah. Ijon mulai lebih sering mematut di depan cermin. Memakai baju dan celana terbagus. 

Bapak berjanji mengajaknya ke kota. Membeli seragam sekolah, juga buku-buku. Telah pula didaftarkan namanya di sekolah; pendaftar pertama. Bapak Ijon membelikan sebungkus kretek kepada lelaki bagian pendaftaran murid baru itu. Semoga nian anaknya diterima.

Kemudian perlahan ada sepeda baru di halaman. Bapak beli dari pedagang keliling yang keluar-masuk kampung. Berbagai perangkat dapur mengikuti, atas kemauan ibu menyisihkan uang hasil menjual padi dan menyerahkannya kepada pedagang keliling. Pun ada tivi baru, dihutang dari rentenir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun