Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tua

24 Maret 2019   13:33 Diperbarui: 24 Maret 2019   13:51 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Waktu begitu rajin dan tajam meraut hidup, yang semakin mendekatkan diri pada runcing maut paling menusuk. Pagi ini setelah melaksanakan shalat shubuh, lalu mencoba merangkai kata di layar komputer, tanganku seumpama paku menancap dinding. Sama sekali tak bergerak!

"Bagaimana tulisannya, Yah? Sudah kelar?" Istriku meletakkan sepiring panganan dan secangkir kopi di atas meja. Asap kopi mengebul. Aromanya membuar ke seantero ruang tengah, menjelanak melewati lobang hidung. Tentu saja itu membuatku berpaling dari layar komputer, dan mencoba tersenyum kepada istri yang telah mempertaruhkan hidupnya bersamaku hampir dua puluh lima tahun. 

Kau tentu paham bahwa dia adalah perempuan kuat. Sanggup bertahan hidup dengan waktu lama bersama lelaki yang hanya memberinya rasa; melarat.

"Apakah aku ada menyalakan komputer?" Keningku terlipat. Istri mengeluh. Dia menghempaskan bokong di atas kursi rotan. "Maaf, aku sama sekali tak ingat apakah ayah pagi ini sudah membuka komputer atau belum."

Dia menunjuk dengan ujung bibir ke arah layar komputer yang masih menyala. Masih bingung, kumatikan komputer. Kubawa kopi dan panganan itu menemuinya di meja tamu.

Dia membisu. Seperti memendam kesal. Belakangan ini dia bingung melihat tingkahku. Beberapa kegiatan yang sudah kulakukan, terkadang aku merasa belum melakukannya, hingga harus mengulang kembali. Seperti, aku sudah shalat, tapi merasa belum shalat, lalu melakukannya kembali. Aku sudah mandi, tapi merasa belum mandi, lalu melakukannya kembali.

Istriku mengeluhkan keganjilan itu. Dan dia akan merepet seperti bebek, manakala sifat lupaku berurusan dengan perut. Sudah makan, aku makan lagi karena lupa. Sudah mengopi, aku mengopi lagi karena lupa. Biaya untuk perut tentu membengkak. Sementara penghasilanku tak menentu. Menukang rumah hanya sesekali. Bekerja sehari, seminggu stop akibat encok. Menulis cerita dan dikirim ke media, terkadang dimuat, tapi lebih banyak masuk tong sampah. Lebih parah lagi, terkadang aku bingung mau mengirim cerita ke media, karena aku tidak memiliki selembar tulisan pun.

"Tapi, jangan sebut aku pikun!" kataku tegas. 

* * *

Berbilang tahun lalu aku adalah lelaki segar, meski tak muda lagi. Lelaki menarik, kendati tak bisa disebut tampan. Beberapa tulisanku mentereng di media-media bertiras banyak. 

Aku banyak teman, dari teman nyata maupun maya. Pekerjaan utamaku sebagai tukang rumah, boleh disebut mumpuni. Pelanggan menyebut caraku bekerja melebihi orang sekolahan. Arsitektur rumah yang kubangun, terkadang disebut melebihi ide seorang insinyur sekali pun. Ya, kendati aku hanya bisa membangun rumah untuk orang lain, tapi tak bisa membangun rumah untuk keluargaku sendiri. Sampai sekarang, keluargaku---maksudku aku dan istri, karena dua anakku sudah menikah-- masih tinggal di rumah kontrakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun