Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat Cinta

12 Februari 2019   23:52 Diperbarui: 12 Februari 2019   23:58 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerimis masih turun membasahi Palembang. Toko-toko di sepanjang Jalan Sudirman sudah tutup. Tapi beberapa orang masih hilir-mudik di trotoar. Sebagian melanjutkan perjalanan, mungkin pulang ke rumah, setelah berteduh sekejap sekadar menunggu hujan lebat berganti gerimis. Sebagian barangkali masih ingin melewatkan malam sampai dini hari di sebuah pub misalnya, atau diskotik. Ah, kubayangkan mandi berendam di bathub  sambil menyeruput segelas lemon hangat. Kemudian mengenakan baju tidur model kimono, lalu menikmati sop buntut lada hitam yang dihidangkan pembantu. Mudah-mudahan lelah yang menggelayuti tubuhku dua hari ini segera hilang. Hmm, memang beres-beres persiapan pesta pernikahan Amril, kemenakanku, butuh ekstra tenaga. Lega juga sudah selesai semua. Tinggal besok menyisakan tugas-tugas kecil di acara pesta itu.

Tapi aku tak merasakan kenyamanan menerpa dada. Suamiku, Indra, sejak dari rumah orangtua Amril di bilangan Perumnas, kelihatan menyimpan dendam. Rahangnya mengeras. Tangannya kaku di belakang kemudi. Padahal dia jarang bersikap begitu. Meski berpinsip mengemudi mobil itu harus fokus, tapi dia selalu sempat mengobrol yang ringan-ringan. Atau bernyanyi-nyanyi kecil sambil mengetuk-ngetuk ujung jari telunjuk tangan di kemudi.

Sebenarnya sikapnya yang tak bersahabat denganku, sudah terjadi hampir sebulan ini. Aku bingung dibuatnya. Semua serba salah. Apakah disebabkan aku tidak cantik lagi? Ataukah tubuhku telah melar karena lebih perhatian mengurus Indra, anak-anak dan tetek-bengek rumah tangga ketimbang mengurus badan?

Ongki, mantan teman sekuliahku pernah mengatakan begini, "Begitu kau memiliki beberapa anak, kemudian berusia lebih dari tigapuluh lima tahun, maka  bersiap-siaplah untuk mendapati perubahan perilaku suamimu. Ini sering dan selalu terjadi di setiap rumah tangga. Suami mulai merasa istri tak pandai lagi mengurus badan, dan menganggap mirip, ya mungkin pembantu." Dia tertawa. Tapi kata-katanya menusuk hati. "Dia menjadi pemarah, dan mulai melirik perempuan lain. Belum lagi kalau kau sudah berusia empat puluh lima tahun, maka jangan terkejut jika sewaktu-waktu suamimu membawa selembar surat pernyataan, bahwa kau bersedia dimadu suamimu dengan perempuan yang barangkali seusia anak tertuamu."

"Sebegitu hebatkah? Bukankah suamiku sangat mencintaiku?"

"Semua laki-laki sama. Maka itu yang membuatku tak mau menikah sampai sekarang. Aku tak ingin sakit hati oleh suami yang hidung belang."

Hatiku merintih. Apakah sikap Indra pertanda bahwa dia sedang melirik perempuan lain? Ya, seharusnya aku harus lebih perhatian kepadanya. Tak melulu melalui ucapan seperti, "Capek Pak? Mau dipijitin? Di kantor adakah baik-baik saja?"  Melainkan lebih dari itu, yakni aku harus bisa menjaga penampilan. Diet, ber-make up. Dan uh! Sayang sekali aku selalu tak bisa melakukannya. Kesibukan di rumah membuatku lupa terhadap segala yang berhubungan dengan seksi dan kecantikan.

"Pa, ada persoalan apa sehingga sejak tadi membisu terus?" tanyaku ketika rebahan di kasur. Dia masih duduk memunggungiku. Membaca sebuah buku, atau barangkali hanya pura-pura membaca sebab menyadari aku belum terlelap. "Bahkan hampir sebulan ini aku lihat papa sangat lain. Papa menjadi asing di pandanganku."

Dia meletakkan buku di atas kasur. Diseretnya langkah menuju ruang keluarga. Kudengar dia menghidupkan televisi. Acara dangdut kegemarannya. Suara piring beradu gelas meningkahi. Kemudian sapaan pembantu yang menanyakan apakah Indra butuh apa-apa. Aku dengar dia meminta segelas besar kopi kental dan sepiring mie goreng.

Sungguh hatiku bergetar. Emosiku menggelepar. Perbuatan Indra telah di luar batas menurutku. Aku hanya ingin bertanya tentang perubahan sikapnya kepadaku, ternyata disepelekan dan dia keluar kamar seolah diri ini tunggul kayu.

"Hati-hati, Mis!" Seorang mantan teman SMP-ku juga pernah mencoba mengingatkanku. "Kalau kau dan suamimu  lebih sering bertengkar ketimbang akur, siap-siaplah melangkah ke pintu perceraian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun