Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Apartemen

12 November 2019   15:40 Diperbarui: 12 November 2019   16:02 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Sabtu malam. Dingin mengigit jalan. Orang-orang bergegas menepi, sekadar menikmati kehangatan secangkir kopi atau teh. Ada pula yang memilih mengurung sepi di balik selimut. Tetapi mobilmu masih merayap seperti ular kekenyangan. Suasana cukup mendung. Angin tak ramah. Mungkin sebentar lagi hujan turun. Berbulan kemarau, malam ini kali perdana jarum-jarum itu menjahit tanah yang telah lama rapuh. Kau pun berpikir alangkah nikmatnya mereguk kopi ditemani istri. Kalian meringkuk di balik selimut tebal. Sangat cepat meredupkan lampu. Malam berhujan terasa panjang dan nikmat.

Sialnya ban mobilmu tiba-tiba pecah. Harapan punah seiring dengus ban mengerut. Kau bergegas keluar sambil ngedumel. Pandang kau edarkan. Siapa yang bisa kau mintai tolong? Tak ada tukang tampal ban seorang pun. Klakson di belakang itu memekik, menyuruhmu menepikan mobil. Seorang lelaki setengah baya, beruntung masih mau membantumu agar menjauh dari kemacetan.

"Untung saja kita berhasil memarkirkan mobil  sebelum hujan turun." Lelaki itu mengajakmu memasuki warung kopi sambil berusaha mengeringkan tengkuknya dari keringat bersimbah. "Kalau hujan sudah reda, baru kita ganti ban mobil Bapak yang bocor itu." Dia memesan dua cangkir kopi. Kau menampik karena kurang hobi mengopi. Dia menenangkanmu. Semua dia yang bayar. Dalam hati kau tertawa. Dunia sudah terbalik, ya? Seorang manajer ditraktir orang biasa. Tapi, bolehlah. Sesekali ditraktir  orang biasa, mungkin ada bedanya.

Kau kemudian agak sungkan mengambil pisang goreng setengah gosong yang dia angsurkan. Dia mengatakan pisang goreng itu aman, tak akan membuatmu sakit perut. Kau menangapinya dengan  tertawa renyah. Ternyata dalam suasana dingin, menyesap kopi dan menikmati pisang goreng setengah gosong , rasanya lumayan nikmat. Perut menjadi adem.

Dia memperkenalkan diri sebagai Marjan. Tentulah bukan merk sirop. Tapi itu nama unik dan menggelikan. Konon ketika ibunya sedang kontraksi, dia mengidam sirop Marjan rasa cocopandan. Itulah yang membuat ayahnya yang asli suku Karo, langung berinisiatif memberinya nama menggelikan itu. Sirop itu ajaib memuluskan kelahiran jabang bayi; lelaki yang sedang nyengir kuda di depanmu.

"Tapi bukan berarti keringat Bapak berasa Marjan, kan?" selorohmu sambil mencomot pisang goreng yang kedua. Dia memukul bahumu pelan. Seorang manajer tidak boleh tersinggung, meski yang memukul bahumu orang yang taraf hidupnya lebih rendah darimu. Mendiang ayahmu pernah mengatakan bahwa di dalam warung kopi segala status ditangalkan. Tak ada pejabat, apalagi penjahat. Semua larut seperti air kopi. Tak lagi bisa ditebak mana air bening, mana bubuk kopi. 

Kalian menjadi sangat akrab. Selama tiga hari menghuni kota ini, kau merasa  menjadi orang tersesat. Tapi tak lagi setelah kenal dekat dengan Pak Marjan. Dia adalah keluarga barumu.

Kau enteng saja menceritakan siapa dirimu. Tentang istrimu yang Mojang Priangan, juga tiga krucil yang  lasak. Pun tentang pekerjaanmu sebagai manajer pada pembangunan satu unit apartemen mentereng di kota ini.

Mendengar kata apartemen, dia mengeluhkan beberapa pengusaha yang terkadang culas. Merasa memiliki uang, mereka seenak dewe mengusir para pemukim awal dengan uang ganti rugi yang memang bikin rugi. Padahal para pemukim awal tak saja karena uang sehingga tak mau melepas lahannya. Menjual  perkampungan kepada orang lain sama saja menjual sejarah kampung itu. Artinya, mereka akan kehilangan kampung. Kehilangan sejarah. Kehilangan usaha kemplang bakar yang digeluti turun-temurun.

"Tapi aku yakin Bapak itu pengusaha baik hati." Kalian mengakhiri perbincangan karena hujan telah berhenti. Sempat kau berkilah, kau hanya pekerja, bukan pengusaha. Tapi Pak Marjan tak faham dan tak mau tahu persoalan itu.

Dibantu olehnya, mobilmu bisa melanjutkan perjalanan. Seluruh minuman dan makanan yang kalian nikmati, dengan senang hati dibayar Pak Marjan. Kau ingin mencegah, tapi kau hanya memiliki uang elektronik. Sementara si pemilik warung kopi ingin dibayar tunai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun