Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Permata Keluarga

11 November 2019   14:49 Diperbarui: 11 November 2019   16:42 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Setiap pulang kerja dengan timbunan masalah, kau sering berkhayal rumah adalah istanamu. Segelas teh manis hangat dan sedikit panganan menghiasi meja tamu. Tiga anakmu sedang belajar karena ingin hidupnya lebih mapan daripada  sang ayah. Sementara Sarifah  sibuk menyulam. Pandangannya teduh seperti senja yang turun di halaman. Aroma harum  shampo menguar di seluruh ruangan.

Dia meletakkan begitu saja sulaman itu, merelakan keningnya kau kecup. Peluknya membebat pinggangmu. Sedangkan ketiga anak  menggelayut manja di lenganmu. Mereka bercerita tentang nilai ulangan sekolah yang mengagumkan, plus menagih janjimu bila  nilai ulangan  mereka lebih dari enam, maka kalian akan pergi berenang ke tempat termahal di kotamu. Kenyataannya  rata-rata nilai ulangan sekolah mereka di atas delapan. Kau akan menambahkan, setelah capek berenang, kalian singgah sebentar di warung ayam panggang.

Tapi khayalan semata khayalan. Tak ada teh manis hangat apalagi panganan menyambut lelahmu. Rumah bagai kapal pecah. Air di mana-mana. Corat-coret mural buruk rupa menghiasi dinding ruang tamu.  Pakaian menumpuk di atas sofa, sehingga kau bingung apakah itu rumahmu. Ya, mungkin kau telah tersesat di rumah tetangga. Tapi kau merasa tak mungkin salah, karena di lorong kampung itu, hanya rumahmu yang seperti kapal pecah.

Terdengar suara istrimu marah. Seperti tumbuh tanduk banteng di kepalanya. Dia ingin menyerudukmu dengan serangan-serangan tentang nilai ulangan anak kalian yang jeblok. Atau si sulung dihukum wali kelas karena nakal.  

Sementara kau tetiba merasa puluhan tangan menggerayangi tubuhmu. Tangan-tangan mungil itu merogoh kantongmu. Suara riuh rendah ketika salah seorang dari mereka berhasil mengambil ponsel.  Mulai pula saling rebut. Ucapanmu yang setengah marah bahwa mereka harus bergantian main game hanya dianggap angin lalu. Entah berapa ponsel sudah mendiang karena tak sengaja jatuh ke lantai. Kau pun hanya bisa mengacak-acak rambutmu.

Istri kemudian akan memberondong agar kamu tegas kepada anak-anak. Jangan terlalu lembek hingga mereka ngelunjak. Kau pun sedikit naik pitam. Apakah kamu harus memukul mereka? Bagaimana jika mereka memar atau luka-luka? Kau tak bisa membayangkan harus  berada di balik jeruji penjara sebab melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Lagi pula, apa mungkin kau mencelakai darah dagingmu sendiri?

Maka, senja itu ketika petir saling menyambar, kau putuskan tetap di kantor, meskipun hanya kau dan pelayan tua yang ada di sana. Dia menyediakan untukmu secangkir kopi dan gorengan yang sudah dingin. Kau merasa tersentuh. Orang lain saja lebih menghargaimu ketimbang keluarga sendiri. Apa pernah istrimu berbuat begitu? Apa pernah susana nyaman begini kau terima? Pelayan tua itu sedang meletakkan ember di bawah plafond yang bocor. Hujan ternyata turun amat deras.

Kau sekonyong teringat anak-anak. Mereka sering seperti anak ayam kehilangan induk kalau hujan turun deras. Semua meringkuk di kamar. Istrimu pasti kelabakan mencari panci karena ember-ember sudah habis demi menampung air hujan yang merembes dari atap. Kau pun tersenyum, meski kau pikir itu jahat. Sesekali mereka harus diberi pelajaran agar tahu bersikap kepada seorang kepala keluarga.

"Belum pulang, Pak Murad?" Alim duduk di sofa. Si tua yang umurnya mungkin sepuluh tahun di atasmu, selalu terlihat cerah. Ya, pastilah cerah. Semua anaknya sudah berkeluarga. Istrinya juga telah mendiang. Dia sekarang hanya tinggal sendirian di rumahnya yang tidak terlalu besar.

"Pak Alim pasti senang hidup sendirian, ya?" celetuk kamu.

"Senang kenapa, Pak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun