Mohon tunggu...
Ria Mustika Fasha
Ria Mustika Fasha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger, Content Writer

Wife, Mom, Blogger, content writer https://riafasha.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saatnya Kita Menjadi Benar-benar Peduli!

20 Juli 2016   13:04 Diperbarui: 20 Juli 2016   13:17 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nangkring BKKBN dan Kompasiana

“Ka jangan dekat-dekat Oom itu, dia genit.” Ucap teman sepermainan masa kecil saat kami sibuk berlarian di sekitar rumah. Saat itu umur saya baru menginjak 8 tahun. Istilah genit terasa asing di telinga saya saat itu, saya hanya paham jika itu adalah hal yang buruk jadi saya harus mengindar. Lelaki yang ia sebut oom itu memang sering duduk melihat anak-anak bermain. Jujur saya merinding mengingat bagaimana saat kami bertiga mulai berlari menuju ke lapangan tempat biasa bermain, ia mengejar dan menarik salah satu teman saya. Saya dan teman saya ketakutan berlari memanggil orang dewasa yang berlalu di dekat lapangan. Walaupun akhirnya Oom itu melepas teman saya, ada satu kejadian yang terlewat yang baru ketahui beberapa hari kemudian. Teman saya telah dilecehkan, tak perlu saya ceritakan bagaimana peristiwa pilu itu karena sejak itu sang teman tak berani keluar rumah. Saya pun begitu.

Lingkungan saya tinggal banyak disebut orang kawasan Texas, sebuah istilah untuk tempat yang berbahaya. Setiap minggu ada-ada saja pemuda yang digiring polisi, anak-anak banyak putus sekolah, pemerkosaan, pelecehan seksual, hamil di luar nikah, dan umpatan kata-kata kotor telah biasa saya dengar. Bahkan suatu malam saya mendengar suara ledakan senapan tepat di depan rumah saat polisi mengejar salah satu buronan yang rumah. Walau ada keinginan untuk pindah dari rumah itu namun tak pernah terealisasi mengingat rumah itu adalah rumah tua nenek dan kakek.

Jika bukan karena didikan ayah, ibu, tante-tante, serta kakek dan nenek saya mungkin saya dan ketiga adik tak akan bisa bertahan dalam lingkungan yang memprihatinkan itu. Awalnya saya sempat tertular sikap anak-anak di sekitar, setiap tak suka kata-kata kotor yang dikeluarkan. saya pernah menghardik Ibu dengan kata-kata kotor walau saya tidak tahu maksudnya. Ibu naik pitam luar biasa, tapi ia luapkan sewajarnya dan membatasi waktu saya bermain dengan anak-anak sekitar rumah. Alasannya jelas, lingkungan itu tak baik. Ibu mencarikan saya dan adik-adik kegiatan lain untuk mengisi waktu, entahkah itu mengaji di TPQ, jalan-jalan dengan ayah, belajar di rumah, atau belajar karate.

Keresahan yang dirasakan Ibu waktu itu saya mengerti saat saya kini menjadi seorang Ibu. Saat pindah ke sebuah kontrakan di wilayah Bengkulu. saya dikejutkan oleh anak-anak disekitar yang begitu bebasnya. Seorang anak tetangga berumur 8 tahun saat mengunjungi rumah saya, membawa sebuah smartphone. Di awal, sikap yang ditunjukkannya biasa saja, hingga suatu waktu ia memperlihatkan foto tak senonoh dan video porno sepasang kekasih. Saya kaget, dan ia malah tertawa. Sumpah,  itu bikin saya ngenes, tak ada rasa malu atau bersalah yang ia tunjukkan.

Saya berpikir keras berhari-hari. Saya memikirkan nasib anak saya yang baru berusia 20 bulan itu. Ketakutan akan masa depannya menghantui. Apakah sudah cukup mendidik anak dengan baik? Membekalinya dengan karakter, akhlak dan ilmu agama? Akankah ia aman di lingkungan yang heterogen, yang tidak penah bisa kita tebak bagaimana aslinya orang-orang di sekitar?

Bukankah Yuyun gadis belia berumur 14 tahun yang diperkosa dan dibunuh secara sadis oleh 12 orang pemuda di Bengkulu juga merupakan anak yang dikenal baik? Dan banyak lagi kasus yang korbannya adalah anak-anak baik dan harus kehilangan masa depan oleh lingkungan yang buruk.

Jika dulu, kita telah merasa cukup dengan mendidik anak-anak di rumah dan membentuk kepribadiannya dengan baik. Kita juga butuh membangun sebuah proteksi pada karakter anak-anak kita. Tujuannya jelas, agar apa yang sudah kita ajarkan pada anak tidak dengan mudahnya runtuh hanya karena lingkungan yang tak kondusif.

Saya adalah contoh bagaimana dengan mudahnya sebuah ajaran runtuh hanya karena faktor tidak ada mental proteksi dalam diri. Dari kecil saya telah dibekali ilmu agama yang mumpuni, saya termasuk anak berprestasi di sekolah maupun di luar. Hingga saya menginjak remaja dan mengenal lawan jenis, saya tak terbendung. Karakter saya berbalik. Jika biasanya orang tua adalah media curhat terbaik, saat itu saya menjauh. Memilih melabuhkan diri dengan tumpukan komik dan dunia maya, jarang ke luar kamar, dan sibuk dengan dunia sendiri. Oke saya akui, hadirnya internet di zaman itu membuat apa yang ditanam baik dahulu jadi rusak. Saya mulai mengenal istilah orang dewasa dan mencari tahu karena tak berani bertanya pada keluarga. 

Saya tahu jawaban jika saya bertanya mengenai orang dewasa, anak kecil tak perlu tahu! atau nanti tunggu besar aja.  Walau saya tak sampai jauh hingga mempraktekkannya ke pacar atau lawan jenis, saya masih mengingat bahwa pikiran masa remaja saya saat itu mulai terganggu. Jika mengingatnya saya menyesal berharap bisa mengulang masa remaja itu dengan melakukan kegiatan yang lebih produktif. 

Bisa saya katakan saya terselamatkan oleh lingkungan yang kondusif. Memasuki dunia SMA saya beruntung mendapatkan teman-teman yang berprestasi, hingga terpacu untuk menyalurkan hobi, sehingga tak terfikir untuk melakukan hal-hal negatif yang gandrung dilakukan para remaja.

Lalu bagaimana dengan anak-anak yang tak menemukan cara untuk berubah hingga tak bisa keluar dari kejamnya lingkungan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun