Mohon tunggu...
Rezi Hidayat
Rezi Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - researcher and writer

Fisheries Researcher

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengelolaan Perikanan Budi Daya di Danau/Waduk

21 Mei 2019   13:33 Diperbarui: 21 Mei 2019   13:50 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Danau/waduk memiliki posisi yang strategis dan berfungsi multi guna (multi functions). Selain fungsi utamanya sebagai pengendali bencana alam (banjir, erosi, dan kekeringan), juga dimanfaatkan oleh lainnya seperti: perikanan, pariwisata, sarana transportasi, sumber air irigasi pertanian, pembangkit listrik (PLTA), dan sebagainya. Luas danau/waduk di Indonesia diketahui mencapai 1,85 juta ha, terdiri dari danau alami sekitar 1,80 juta ha, dan danau buatan/waduk sekitar 0,05 juta ha (Katamihardja, 2009).

Pada perkembangannya, danau/waduk banyak dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan sumber protein melalui kegiatan budidaya ikan. Hingga tahun 2016, area danau/waduk yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan mencapai 1.920 ha, menggunakan keramba jaring apung (KJA). Produksi ikan yang dihasilkannya cukup besar mencapai 502,3 ribu ton. Dari nilai tersebut menempatkan kegiatan KJA di danau/waduk menjadi andalan kedua setelah kolam sebagai pemenuh kebutuhan konsumsi ikan air tawar nasional. Sebaran produksi terbanyak berasal dari provinsi Jawa Barat (39%), disusul Sumatera Utara (12%), dan Jawa Tengah (11%) (BPS, 2016). 

Jumlah tenaga kerja yang berhasil terserap dari kegiatan KJA di danau/waduk pun cukup signifikan. Data BPS tahun 2016, menunjukkan jumlah rumah tangga produksi (RTP) KJA di perairan umum terus meningkat hingga 69.768 RTP. Angka ini belum termasuk tenaga kerja tidak langsung yang terlibat seperti buruh panen, buruh angkut, pedagang kecil, dan lainnya serta industri turunannya yang jumlahnya juga tidak sedikit.

Sebagai contoh kegiatan KJA di danau/waduk yang memiliki kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan maupun peningkatan ekonomi seperti di Danau Toba. Sejak tahun 2000, kegiatan KJA di Danau Toba mulai berkembang pesat dalam memproduksi ikan nila, baik yang dikelola oleh masyarakat maupun perusahaan swasta. Hingga 2016, jumlah KJA yang ada sebanyak 11.827 unit, dimana sebagian besar dikelola masyarakat (95%), sisanya swasta. Produksi yang dihasilkan mencapai 62.023 ton ikan nila, dengan dominasi hasil produksi dari swasta (67%). Dari produksi tersebut, hasil KJA Danau Toba mampu menyumbangkan sekitar 44% volume ekspor ikan nila secara nasional atau sekitar 37% nilai ekspor ikan nila nasional (KKP, 2017). Lain lagi dengan kegiatan KJA di waduk wilayah Jawa Barat, hampir sekitar 40% kebutuhan konsumsi ikan masyarakatnya disumbangkan dari KJA di waduk seperti Jatiluhur, Cirata, Saguling, dan Darma. 

Sayangnya, pesatnya perkembangan kegiatan KJA di danau/waduk, makin tahun makin berlebihan dan tidak terkontrol, sehingga merusak kelestarian lingkungan perairan yang mengancam keberlangsungan kegiatan KJA itu sendiri. Pemerintah saat ini kemudian bereaksi dengan berencana merasionalisasikan kegiatan KJA di danau/waduk melalui inisiasi kebijakan zero keramba. Kebijakan ini mengundang banyak kritikan dari para pelaku usaha KJA, yang tentunya akan mematikan usaha mereka dan juga mengurangi produksi ikan. Akhirnya pada implementasinya, rencana kebijakan ini pun kemudian perlu dikaji ulang guna menemukan solusi yang lebih tepat.

Secara umum, isu dan permasalahan KJA di danau/waduk yang berkembang saat ini. Pertama, pencemaran dan penyuburan (eutrofikasi) lingkungan perairan dari limbah kegiatan budidaya ikan (kotoran ikan dan sisa pakan). Kedua, sering terjadinya kasus kematian massal ikan budidaya yang merugikan setiap tahunnya akibat fenomena up-welling atau naiknya lapisan bawah perairan yang mengandung banyak bahan toksik ke permukaan. Ketiga, sebagian besar kegiatan KJA di danau/waduk telah melebihi daya dukung lingkungan (over-carrying capacity) sehingga lebih beresiko terjadi kematian dan penurunan produksi, seperti di Danau (Toba, Maninjau) dan Waduk (Jatiluhur, Cirata, Saguling, Darma). Keempat, kegiatan KJA yang berlebihan dan tak terkendali merusak keindahan sektor pariwisata. Kelima, kecemburuan sosial pelaku usaha KJA masyarakat dengan swasta. Dan keenam, pencemaran danau/waduk dari aktivitas pembangunan & manusia di sekitar lingkungan dan hulu daerah aliran sungai (DAS).

Strategi Pengelolaan 

Guna mewujudkan pengelolaan budidaya ikan di danau/waduk secara produktif dan berkelanjutan, perlu dukungan semua pihak yang saling bersinergi satu sama lain. Sejumlah langkah strategis yang mestinya dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha, dan seluruh komponen masyarakat lainnya. 

Pertama, penataan ruang perairan umum sesuai dengan peruntukannya. Zona kawasan perikanan budidaya diutamakan pada kondisi perairan yang berstatus tidak terlalu subur (oligotrofik-mesotrofik) dengan aksesibilitas memadai.

Kedua, rasionalisasi biomassa ikan di KJA sesuai daya dukung lingkungan (carrying capacity), melalui pembatasan dan penataan jumlah KJA secara adil antara masyarakat dan swasta. Ketiga, penebaran ikan plankton feeder (misal: bandeng, nila) pada lingkungan danau/waduk untuk menanggulangi kelimpahan plankton yang tinggi.

Keempat, penggunaan pakan ikan terapung yang memiliki kandungan fosfor minimal. Kadar fosfor yang tinggi di perairan diketahui akan meningkatkan kesuburan perairan (eutrofikasi) yang buruk bagi kegiatan budidaya ikan.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun