Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerja Paksa Atau Kerja Bakti Tahanan Politik Tragedi 1965

24 September 2017   14:29 Diperbarui: 24 September 2017   15:02 3375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerja Paksa Atau Kerja Bakti Tahanan Politik Tragedi 1965 | Foto: Istimewa

Pernah dengar romusha jaman Jepang atau kerja paksa jaman Belanda? Ternyata terjadi juga kepada tahanan politik 1965 tapi dengan istilah lain yaitu kerja bakti. Tunggu dulu kerja bakti itu kan kegiatan gotong royong semua elemen masyarakat. Iya benar namun apabila hak-hak dasar tahanan sebagai manusia tidak dipenuhi apakah itu dapat dibenarkan? Tahukah Anda bahwa jembatan, jalan raya, monumen, dan bendungan yang dibangun di berbagai tempat di Indonesia sepanjang akhir 1960an dan 1970an dibuat oleh tangan-tangan tapol dan mantan tapol, yang kebanyakan hanya menerima caci-maki sebagai pengganti keringat yang mereka keluarkan?

Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh militer dan pemerintah  disebutkan: para tahanan politik dipekerjakan di rumah perwira dan di  tempat lain agar mereka bisa bergaul dengan orang lain yang berasal  bukan dari keluarga tahanan politik.

Pernyataan ini merupakan suatu  eufemisme, bahwa kerja paksa di rumah perwira merupakan tindakan  rehabilitasi, bukan sebagai eksploitasi dan isolasi dari keluarga dan  lingkungannya. Bukannya dibiarkan mencari kerja sendiri dan memperoleh  imbalan untuk menghidupi keluarganya dengan pengawasan seperti kasus  Antasari Mantan Ketua KPK yang sekarang kerja diluar, para tapol justru  harus bekerja sebagai pembantu gratis, yang jelas bukan cara terbaik  untuk bergaul dengan masyarakat luas.

Para tahanan politik atau tapol biasanya diambil dari penjara pada pagi hari untuk membangun proyek-proyek infrastruktur seperti jalan, jembatan, bendungan, dan kanal sampai sore atau malam hari baru dipulangkan. Banyak yang dipaksa mengeruk pasir dan kerikil, bahan baku untuk membuat semen. 

Sampai pertengahan  1970an, puluhan ribu tapol dilibatkan dalam kerja keras tanpa menerima upah sepeser pun. Seringkali mereka juga tidak mendapat jatah makan. Mereka paling-paling diberi jatah beras, tapi tanpa lauk-pauk. Untungnya ada penduduk yang sebetulnya juga tidak memiliki banyak harta diam-diam ada yang simpati dan memberikan bantuan makan. 

Pekerjaan yang banyak mengeluarkan energi tapol itu tidak diseimbangkan dengan makanan yang cukup, sehingga banyak dari mereka yang menderita penyakit hepatitis, terutama tapol yang berumur 50 tahun ke atas. Ransum yang dibagikan termasuk bulgur, yang memuakkan bagi para tapol yang terbiasa makan nasi. Bulgur diperoleh dari pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu kelebihan produksi. Bulgur itu olahan tanaman seperti gandum yang biasanya untuk jatah makanan hewan masyarakat di Amerika.

Kondisi tapol yang kesulitan mendapat jatah makanan membuat mereka terpaksa bekerja melebihi kuota yang diminta dan menjual bahan-bahan bangunan yang berlebih. Dengan uang hasil kerja ekstra dan penjualan itulah mereka bisa membeli makanan untuk mereka sendiri: 'Jadi kalau umpamanya jatah setengah kubik itu pasir, kita harus tiga perempat, ya yang satu perempat jual untuk makan.' Untuk makan sehari-hari saja mereka harus 'mencuri' dari tuan-tuan tentara yang ternyata tidak terlalu awas juga. 

Mereka menemukan metode yang cukup canggih untuk 'mencuri' makanan dan menyembunyikannya dari pengawal seperti cari bambu atau kayu, kemudian dipotongpotong kira-kira tiga meter, kemudian ruasnya itu dilubangi ruasnya begitu, sehingga nanti kan bisa sepanjang tiga meter dilubangi terus bisa dimasukan makanan.

Selain menggarap kerja-kerja konstruksi, para tapol juga direkrut sebagai tenaga pembantu di rumah-rumah perwira militer dan pejabat sipil. Jangankan soal makanan dan upah bahkan  soal jaminan kesehatan seperti BPJS pun tak ada. Tahanan yang kerja bakti di luar tidak berani melarikan diri karena sudah mendapat ancaman dari aparat militer.

Jika mereka lari, maka anggota keluarga merekalah yang menggantikannya. Bagi sebagian tapol, dibandingkan tinggal di sel penjara yang gelap, lembab, dan penuh sesak sepanjang hari, melakukan kerja paksa di jalanan memang masih lebih baik. Selain itu dapat menemukan apa saja yang dapat dimakan seperti tikus dan ular bahkan serangga.

tapol-kerja-bakti-59c75ea6981827773d3ff203.jpg
tapol-kerja-bakti-59c75ea6981827773d3ff203.jpg
Tapol-tapol ini sebetulnya sangat kasihan, terutama di tahun-tahun awal mereka tiba di penjara atau pulau pembuangan, karena pelaparan yang dipaksakan itu. Sudah cukup buruk nasib mereka dibuang atau penjara dan dipaksa bekerja. Tetapi mungkin penderitaan itu masih bisa mereka tahankan seandainya mereka tidak dipaksa terus-menerus berada dalam keadaan kelaparan. 

Sudah jelas terjadi ketidakadilan luar biasa ketika mereka dibuat kelaparan, sementara produksi yang mereka hasilkan diambil atau dikorupsi oknumm pejabat dan tentara yang nakal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun