Mohon tunggu...
Humaniora

Sastra Hilang Nyawa

27 Oktober 2016   09:11 Diperbarui: 27 Oktober 2016   09:33 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sastrawan kenamaan Indonesia Emha Ainun Najib pernah mengatakan “sastra itu dapat memelihara kelembutan hati, kepekaan perasaan, ketajaman intuisi, kedalaman jiwa, kearifan sifat sosial, dan keluasan pandangan hidup.” Sastra menjadi kehidupan itu sendiri. Ia seolah bernyawa layaknya manusia dan bahkan dapat meluapkan apa yang tak dapat diluapkan oleh nyawa manusia. Sayangnya, kurun waktu belakangan, semua tergerus perlahan. Pernyataan Emha Ainun Najib di atas seolah mental seiring perkembangan teknologi bernama media sosial.

Tidak ada yang dapat memungkiri, dewasa ini media sosial menjadi candu bagi masyarakat. Dari kanak-kanak hingga nenek sudah bercucu gandrung dengan media sosial. Apalagi remaja tanggung dan dewasa usia kerja, menjadi yang paling banyak “menyembahi” media sosial. Lalu, apa hubungannya media sosial ini dengan sastra?

Saat ini, media sosial memungkinkan orang-orang untuk meluapkan perasaanya dengan lebih masif. Dahulu jauh sebelum media sosial berkembang, orang-orang mengenal dan sangat akrab dengan menulis buku harian. Segala perasaan yang tidak dapat diungkapan, segala emosi yang tidak mungkin diluapkan, dikeluarkan lewat tulisan bernama catatan harian atau diari.

Namun, hari ini, catatan harian yang bersifat personal itu menjadi konsumsi publik. Orang-orang dengan nyaman meluapkan emosi mereka di media sosial untuk kemudian diketahui seantaro dunia. Tak sedikit, yang kemudian mengutip sepenggal puisi, sepenggal sajak, sepenggal dialog drama, buku, dan film untuk kemudian ditempelkan pada curhatan mereka. Atau bahkan penggalan itu menjadi perwakilan dari curhatan mereka. Lantas apakah ini salah?

Tak ada yang salah sebenarnya jika kemudian penggalan karya sastra dijadikan luapan rasa. Memang itulah salah satu fungsi sastra seperti yang dikatakan Emha Ainun Najib. Akan tetapi, permasalahan terjadi ketika banyak orang yang mengutip penggalan tersebut tanpa tahu bagaimana teks asli puisinya, tanpa pernah membaca lengkap buku sastranya, tanpa menghayati betul makna sajaknya. Bahkan lebih parahnya tak mengenal sosok, profil, biografi dari sastrawan yang karyanya dikutip itu.

Pernah suatu ketika, saya melihat postingan seorang teman yang merupakan postingan ulang dari akun-akun himpunan puisi. Suatu kali, teman saya ini memposting ulang kutipan sajak “Hujan Bulan Juni” karangan Sapardi Djoko Damono (SDD). Saya berpikir bahwa teman saya ini menyukai karya-karya SDD pula. Saya kemudian menanyakan padanya “Wah, kamu posting kutipan sajak SDD, kamu suka karya beliau juga, ya?” Jawaban teman saya ini membuat saya terdiam, “SDD? Itu siapa, ya? Ooh postingan itu saya ambil soalnya sedang sesuai perasaan saja, kebetulan pas.”

Inilah apa yang saya maksudkan bahwa karya sastra kini kehilangan nyawanya. Ketika karya sastra hanya dijadikan pelampiasan perasaan sementara yang seringnya tentang perasaan sakit hati, ditinggal kekasih, romansa jatuh cinta, dan sentilan pada orang yang disukai atau dibenci. Karya sastra dikutip singkat lalu ditempelkan menjadi keterangan foto (caption) pada media sosial. Seolah yang mengutipnya terlihat sastrawi sekali. Seolah menyukai sastra dan membaca karya sastra. Padahal sama sekali tidak tahu menahu tentang penggalan karya sastra yang dikutipnya itu.

Secara cepat, karya sastra menjadi rendah nilainya, hilang nyawanya, tidak hidup sebagaimana mula dia dibentuk. Sastra dibentuk oleh penulisnya sebagai suatu mahakarya yang maknanya lebih luas, lebih dalam, dan tentunya lebih dari sekadar kalimat indah. Para sastrawan melakukan perenungan panjang dalam karya-karya mereka. Dan ironinya, tiba-tiba saja hari ini perenungan itu menjadi masif tapi tidak ada nyawanya. Dicerabut begitu saja.

Ironi sekali ketika banyak orang-orang yang mengutip penggalan karya sastra tapi tidak tahu menahu sama sekali tentang apa yang dikutipnya. Bahkan tidak  pula berniat mencari tahu karya sastra itu lebih jauh dan siapa yang membuatnya, tidak berniat membacanya.

Saya membayangkan bagaimana jadinya ketika para sastrawan menemukan sendiri orang-orang seperti teman saya di atas? Ketika seorang Sujiwo Tedjo misalnya atau Taufiq Ismail, melihat puisi mereka dikutip orang. Lalu ketika ditanya, tahu dengan teks utuh puisi ini atau tahu dengan penulis puisi ini, si pengutip lantas menggeleng dan bilang “ini kebetulan cocok saja dengan perasaan saya”? 

Pada titik inilah akhirnya kita memerlukan refleksi tentang bagaimana kita menghargai karya sastra para sastrawan. Sebesar apa sesungguhnya kepedulian kita pada nyawa sebuah karya sastra. Seberapa besar kepedulian kita pada perenungan sastrawan dalam karya mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun