Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melawan Propaganda Negatif Menyelamatkan Kebhinnekaan

19 Februari 2017   06:27 Diperbarui: 19 Februari 2017   09:57 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga Indonesia - Damailahindonesiaku.com

Sebuah fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa Indonesia merupakan negara dengan suku dan budaya yang beraneka ragam. Ribuan suku-suku terbentang dari Aceh hingga Papua. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar. Banyak penduduk ini pun mempunyai konsekwensi, tingkat keberagamannya menjadi lebih besar. Tidak hanya budaya, tapi juga kepercayaan yang dianut, karakter, bahkan mungkin latar belakangnya juga saling berbeda satu dengan yang lain. Itulah Indonesia sejak dulu. Sejak jaman nenek moyang, hingga suku-suku itu memutuskan bersatu dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.

Disisi lain, menjadi fakta pula, untuk mempertahankan keberagaman budaya itu tidak mudah, meski sejatinya keberagaman itu sudah mencajadi identitas Indonesia. Terbukti, pihak-pihak yang mempertanyakan keberagaman negeri ini terus bermunculan. Pancasila yang sejatinya menjadi kesepakatan bersama, dan terbukti bisa menyatukan semua keberagaman tadi, mulai dipertanyakan. Pancasila dinilai sebagai produk dari demokrasi. Sedangkan demokrasi sendiri dimaknai sebagai hasil dari produk barat. Karena produk barat, maka apapun itu bentuknya harus ditentang. Tak terkecuali Pancasila.

Pihak-pihak yang menentang dan terus menentang hingga saat ini adalah kelompok radikal, kelompok intoleran, dan kelompok teroris. Mereka semua menginginkan keberagaman berubah menjadi keseragaman. Karena Indonesia mayoritas berpenduduk muslim, maka dasar negaranya pun harus didasarkan pada negara Islam. Perdebatan ini sebenarnya sudah terjadi sejak proses perumusan bangsa ini sejak dulu. Namun, para pendahulu sepakat, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara Islam. Tapi Indonesia adalah negara beragama, yang mengakui beberapa agama didalamnya. Yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan aliran kepercayaan.

Dalam perjalananya, kelompok radikal terus berupaya untuk memasukkan radikalisme di dalam setiap lini. Mereka pun mulai menyebarkan propaganda. Tidak hanya dalam kehidupan nyata, seperti dalam pengajian di masjid, mushola atau forum diskusi lain. Namun juga dalam kehidupan maya. Media sosial kini telah dipenuhi propaganda negatif. Propaganda yang mereka munculkan tentu bisa ditebak. Mereka selalu merasa dirinya paling benar, dan pihak yang berseberangan selalu dianggap salah. Bahkan mereka begitu mudah mengkafirkan orang lain. Akibatnya, provokasi yang terus menerus itu melahirkan kebencian. Tidak hanya pada tataran pikiran, kebencian ini terus merambah pada tataran perilaku dan ucapan. Itulah yang terjadi saat ini. Ujaran kebencian bisa dengan mudah kita temukan dimana-mana.

Melawan propaganda negatif dan ujaran kebencian ini memang tidak mudah. Meski Indonesia dikenal dengan sopan santunnya, dikenal dengan gotong royongnya, sebagian masyarakatnya masih dengan mudah diprovokasi sentimen SARA. Kita tentu masih ingat pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai Sumatera Utara akhir tahun lalu. Peristiwa yang menyedihkan itu terjadi lantaran diprovokasi melalui media sosial. Kasus dugaan penistaan agama di Jakarta, yang menyeret gubernur Basuki Tjahaja Purnama, juga menjadi besar lantaran provokasi di media sosial.

Sekali lagi, tidak mudah untuk melawan provokasi negatif. Dan tidak mudah pula menyelamatkan kebhinekaan, jika kita hanya diam. Waktunya untuk aktif melawan. Tidak hanya melawan dengan memperbanyak pesan damai di media sosial, dan dalam pergaulan, sebaiknya kita juga harus membuka dialog dengan pihak-pihak yang selama ini merasa benar. Karena salah satu persoalan di negeri ini adalah, kita tidak mau berdialog dengan pihak-pihak yang dianggap berbeda. Karena yang berbeda itu dianggap salah, salah dan salah. Semoga bisa jadi renungan buat kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun