Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kondisi Lingkungan Jakarta Memang Sudah Memburuk Sejak 1733

2 Agustus 2019   00:06 Diperbarui: 17 Maret 2022   14:06 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batavia (Jacob Keyser, 1730. Collectie van KITLV)

Pada bulan Juli tahun ini, halaman muka koran dan berita-berita utama televisi menampilkan laporan masalah lingkungan di Jakarta. Laporan lembaga survei Amerika Serikat hingga penelitian dari Kementerian Lingkungan Hidup sendiri pada akhirnya menyatakan bahwa kondisi kesehatan lingkungan Jakarta telah mencapai tingkat yang paling buruk. 

Pada jam tertentu, udara pada wilayah Cibubur misalnya, memiliki kandungan polutan berbahaya empat kali lipat dari batas aman. Dengan berlanjutnya kondisi ini, Jakarta menjadi tidak aman untuk orang-orang yang rawan atau sensitif terjangkit penyakit pernafasan. Polutan yang terkandung dalam udara Jakarta dapat menyebabkan infeksi saluran napas hingga penyakit kanker.

Bagi sebagian sarjana lingkungan, hal ini tentu tidak menjadi sesuatu yang mengejutkan. Terpusatnya segala macam kegiatan di Jakarta menjadikan wilayah ini sebagai wilayah penghasil dan penerima polutan dalam segala aspeknya. 

Belakangan ini, tidak ada lagi sungai Jakarta yang memiliki status tak terkontaminasi polutan. Lebih-lebih, masalah sampah dan pengelolaannya juga tidak kunjung menemukan solusi yang benar-benar berguna. Kenyataan ini sesungguhnya lebih tidak mengejutkan bagi para sejarawan. Sejarawan yang berfokus pada sejarah Jakarta atau sejarah perkotaan tidak akan melupakan perencanaan awal kota ini pada masa VOC. Jatuhnya tingkat kesehatan kota ini dapat dikatakan telah diramalkan sejak pendiriannya.

Kota modern pertama yang menempati wilayah Jakarta adalah Batavia. Kota ini direbut dan didirikan satu dekade setelah kedatangan kongsi dagang Belanda ke Nusantara. Pada 1619, Batavia dibangun di atas reruntuhan kota tradisional Jayakarta. Pada permulaannya, wilayah asli Batavia meliputi Kastil Batavia dan kanal di sekitarnya yang kini menjadi wilayah Kota Tua. Gubernur Jenderal Jan P. Coen dikenal sebagai "pendiri" kota dan orang yang menempatkan nama Batavia. 

Namun, sesungguhnya nama yang pada mulanya diajukan oleh Coen adalah Nieuw-Hoorn yang mengingatkannya pada wilayah Hoorn tempat kelahirannya. Pengajuan ini ditolak oleh tuan-tuan pemilik VOC di Negeri Belanda yang kemudian lebih memilih nama Batavia.

Pada permulaan pendiriannya, wilayah Batavia dan sekitarnya dirancang untuk menampung tidak lebih dari sepuluh ribu orang. Oleh karena itu, VOC memberlakukan sistem kartu masuk dan izin tinggal bagi orang-orang yang berkepentingan di Batavia. 

Hanya dengan cara ini Batavia dapat tetap menjaga kesehatan dan ketersediaan air bersihnya. Ketika penduduk Batavia telah semakin berkembang, VOC memikirkan kembali cara untuk tetap menampung penduduk dan kegiatan di dalamnya. 

Hal ini menyebabkan pemukiman penduduk dilebarkan ke wilayah Weltevreden, sebelah selatan dari kota lama Batavia yang kini menjadi wilayah Gambir. Gabungan dari wilayah-wilayah tadi yang kini membentuk Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat direncanakan untuk menampung penduduk yang berjumlah maksimal dua ratus ribu. Namun demikian, pada masa kini jumlahnya mencapai lebih dari sepuluh juta jiwa.

Kehancuran tingkat kesehatan lingkungan di kota ini akibat meledaknya jumlah penduduk telah terjadi pada tahun 1733. Selama lebih seratus tahun pertama, Batavia masih dikenal sebagai surga dari timur karena keindahannya yang memukau bangsa Eropa.

Namun, setelah tahun 1733, Batavia sangat terkenal dengan kondisinya yang tidak sehat. Wilayah kota lama Batavia yang semula hanya dapat menampung tidak lebih dari sepuluh ribu orang telah dihuni sekitar lima belas atau dua puluh ribu orang. Permasalahan utama yang kemudian timbul adalah ketaktersediaan air bersih. Lebih lagi, permasalahan limbah juga menyebabkan kota ini menjadi sarang nyamuk. Kanal-kanal tidak lagi berfungsi secara optimal sehingga genangan air terdapat di mana-mana. 

Pada tahun 1733 itu, Batavia mendapatkan julukan sebagai kota paling tidak sehat di dunia. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta masa sekarang. Permasalahan utama yang dicatat oleh VOC adalah kelebihan penduduk. Kelebihan penduduk menyebabkan berbagai permasalahan lanjutan yang sangat sulit diatasi tanpa perubahan jumlah penduduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun