Mohon tunggu...
Rizka Bayu Wirawan
Rizka Bayu Wirawan Mohon Tunggu... -

Pendidikan :\r\n-TK Mexindo Bogor (1983-1985)\r\n-SD Regina Pacis Bogor (1985-1991)\r\n-SMP Regina Pacis Bogor (1991-1994)\r\n-SMU Negeri 1 Bogor (1994-1997)\r\n-IPB-Agribisnis (1997-2001)\r\n-IPB-MPI (2007-2009)\r\n\r\nRiwayat Pekerjaan :\r\n- PT Agricon Bogor (2001-2003)\r\n- Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian (2003 - sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bermain Musik Itu Ha.........lal

4 Mei 2013   20:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika sedang tidak berdinas, saya dan beberapa teman kantor rutin berlatih band di salah satu studio musik di dekat kantor. Skill bermusik kami rata-rata pas-pasan kecuali bassist dan drummernya yang mantan personil band pembuka konser Dewa di kota asalnya, Cirebon. Lagu-lagu yang kami bawakan juga bukan dari jenis yang sulit, kalau tidak bermain di nada dasar Do = C, paling banter di nada dasar G, A atau D yang kuncinya relatif mudah. Berhubung usia kami berdekatan, maka lagu yang dibawakan berasal dari jaman kami "muda" dulu, seperti Padi, Radiohead, Guns and Roses dan sejenisnya. Intinya tetap ada "idealisme" jenis musik, khususnya bagi drummer dan vokalis kami, meskipun lebih didominasi lagu-lagu top fourty yang easy listening.

Almarhum bapak pertama kali memperkenalkan saya dengan musik ketika saya duduk di kelas 1 SD. Waktu itu saya dileskan piano klasik di salah satu tempat kursus piano terbaik di Kota Bogor. Dasarnya saya tidak bersyukur, bukannya berlatih dengan serius, di akhir bulan pertama saya malah merengek-rengek minta keluar kursus dengan alasan banyak PR yang harus saya kerjakan. Bersekolah di SD Regina Pacis Bogor sendiri ketika itu terkenal dengan PR-nya yang banyak dan sangat menyita waktu murid-muridnya. Sebenarnya alasan saya lebih kepada ketidaksabaran untuk segera menguasai piano. Pasalnya dalam setiap kali pertemuan, yang diajarkan oleh guru les saya hanya mengenalkan not balok dan melatih kelenturan jari dengan memainkan nada do re mi fa sol secara berulang-ulang, sehingga saya bosan. Itulah untuk pertama kalinya dalam hidup saya mengecewakan bapak.

Dari beberapa jenis alat musik yang saya kuasai, rata-rata saya peroleh melalui pergaulan. "Guru" keyboard saya di kemudian hari setelah kursus piano klasik yang gagal itu, adalah keyboardist band Junior, generasi penerusnya Koes Ploes, yang sekarang tidak kedengaran lagi kiprahnya di kancah musik nasional. Saya mengenalnya dari teman saya yang ketika SMA dan kuliah memang serius bermusik bahkan nama bandnya tercantum dalam salah satu album kompilasi yang dirilis oleh Musica Studios. Atau "guru" les drum saya yang merupakan drummer di salah satu band cafe di Taman Topi Bogor. Sedangkan "guru" les gitar saya adalah saudara sepupu saya di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang tidak saja piawai memainkan hampir seluruh jenis alat musik (termasuk bas betot dan biola), tetapi juga seorang pelestari budaya Jawa, koreografer tari, pemahat patung, qory (pembaca Al Quran untuk MTQ) tingkat lokal, sekaligus pendekar seni bela diri silat Muhammadiyah, Tapak Suci.

Karena tidak ada satupun alat musik yang saya kuasai secara "kaffah", saya sangat menghormati mereka yang mencari nafkahnya dengan bermusik, termasuk para pengamen. Mulai dari pengamen punk asal bunyi di angkot yang saya tumpangi, sampai pengamen keroncong yang harmonisasinya luar biasa di Bakmi Kadin Yogyakarta. Dibandingkan musikalitas saya yang pas-pasan (untuk nada dasar yang saya anggap sulit seperti dimulai pada nada mol dan kres, saya memilih mentranspose nada daripada kesulitan mengingat kuncinya), mereka yang mencari nafkah murni dari mengandalkan kemampuan bermusiknya adalah orang-orang yang luar biasa. Karena mereka harus terus meningkatkan skill bermusiknya jika tidak ingin kalah bersaing dengan sesama pemusik lainnya yang juga tengah mencari nafkah.

Ketika sedang berdinas dan kebetulan hotelnya menyediakan fasilitas live music, adalah sangat menyenangkan berdiskusi tentang musik sebatas pengetahuan saya dengan mereka yang saya awali dengan menerima tawaran mereka untuk me"nyumbang"kan beberapa lagu (karena suara saya memang sumbang). Seperti di Hotel Saphire Yogyakarta dengan "Eyang" Tomy Soemirat-nya, Hotel Mutiara (kalau tidak salah namanya) di Ambon dengan "Opa" Zeth Lekatompessy-nya, atau Hotel Santika Bengkulu dengan Mas Bayou-nya. Mereka adalah manusia pengamal ilmu padi yang semakin berisi akan semakin menunduk, yang tidak pelit berbagi ilmu musiknya dengan orang-orang awam seperti saya.

Di lain kesempatan saya pernah menegur seorang teman saya yang berniat meninggalkan tempat live music di salah satu hotel di Surabaya karena menganggap kualitas bermusik home band-nya biasa saja. Saya katakan kepadanya untuk bersabar sedikit sampai mereka menyelesaikan lagu yang tengah dimainkan. Apa artinya menunggu selama 2-3 menit dibandingkan mereka yang kadang tetap harus memaksakan diri untuk tampil menghibur atas nama profesionalisme sekalipun tengah mengalami masalah di rumahnya? Bagi saya, semua profesi asalkan halal, adalah terhormat dan wajib diapresiasi, meskipun hanya sekedar bertepuk tangan atau mengacungkan jempol dari kejauhan.

Saya jadi teringat saat kami para auditor dari Kementerian Pertanian menonton live in concert-nya Per Sorensen (vokalis Fra Lipo Lipi asal Swedia, sangat terkenal di Filipina tetapi tidak di Indonesia) di Eastwood Mall, Manila (mirip Central Park-nya Jakarta) bersama salah seorang direktur Comission on Audit Republic of The Philippines (BPK-nya Filipina). Musik mendekatkan dua bangsa yang berbeda ras dan agama. Kami bernyanyi bersama bahkan meminta tanda tangan yang ditorehkan langsung oleh Per Sorensen di sampul CD albumnya yang kami beli seharga PHP 350 dan diakhiri dengan foto bersama. Seorang pejabat di Filipina ternyata memiliki sisi "ABG" yang tidak saya duga sebelumnya. Dan menurut saya something in common tersebut merupakan entry point yang baik bagi kami untuk mempererat kerjasama antar negara di bidang audit pada tahun-tahun berikutnya.

Mantan KSAU, Marsekal Chappy Hakim, sukses melobby Joint Chief of Staff of The Air Force (KSAU) AS di acara Pacific Rim Air Chief Conference di Washington DC pada tahun 2002 untuk mencairkan embargo militer suku cadang pesawat tempur dengan cara memberikan album hasil rekaman permainan saksofonnya. Saat ditanya oleh KSAU AS bagaimana mungkin seorang marsekal bintang empat membuat album saksofonnya sendiri di tengah kesibukannya memimpin organisasi, Pak Chappy Hakim menjawab ringan : "saya berdinas rileks sekali karena tidak lagi menerima spare parts bagi pesawat tempur buatan AS. Jadi pekerjaan saya sebagai KSAU hanya menyanyi dan bermain musik". Yang langsung membuat merah muka KSAU AS dan berkata "Please, don't say that, Pentagon always support you, Marshall. It is my congress".

Bermusik menjadi haram ketika kita melupakan ibadah wajib seperti melalaikan shalat lima waktu atau meninggalkan shalat Jumat. Tetapi menjadi berpahala ketika dipergunakan untuk mencari nafkah bagi keluarga tercinta, bahkan lebih jauh lagi sebagai alat diplomasi untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara........

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun