Mohon tunggu...
Rara Zarary
Rara Zarary Mohon Tunggu... Penulis - Menulis adalah caraku menemukan kebebasan, menemukan diri sendiri, dan bertahan hidup (sabdawaktu)

Penulis Buku: Menghitung Gerimis (2013), Hujan Terakhir (2014), Hujan dan Senja Tanah Rantau (2016), Kita yang Pernah (2020).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Emak, Aku Ingin Pulang

8 Agustus 2017   14:12 Diperbarui: 8 Agustus 2017   14:14 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Musim hujan yang biasa kita tunggu sudah bertandang ke kota rantauku yang mulai sepi. Aku mengingat kenangan beberapa tahun lalu tentang satu sahabat yang jauh diseberang, atau empat sekawan juga puluhan teman yang meramaikan hari-hariku juga menemani ku kala hujan dan senja melilit habis kenangan-kenangan masa silam. Jika pun aku terluka dan merasa tak betah di pundak kota, masih ada satu atau dua orang dari teman yang sanggup membawa aku pergi berkelana dan menghirup udara segar selain udara yang mengintip di jendela kosan yang memang sangat sederhana itu bahkan tidak dapat kutatap langit dari luarnya. Lalu jika aku kekurangan bekal, pastinya ada seorang kawan yang menawarkanku tumpukan ikan asin yang ia bawa dari pulau kelahirannya untuk menjadi lauk agar aku bertahan hidup setidaknya hari itu. Atau keesokan harinya mereka akan mengajakku makan atau sekadar ngopi di atas kali tak jauh dari kos untuk melepas penat setiap week endtiba dan jelas kami bebas dari tumpukan tugas kuliah atau kegiatan organisasi lainnya.

Sore ini pada senja yang sudah raib dari kedua mataku, aku menyadari bahwa perjalananku di tanah ini sudah mulai sunyi. Saat aku tahu, pagelaran wisuda tahun lalu menjadi sebab semua banyak kawan pulang kembali ke pulau kelahirannya masing-masing untuk mencium teduh kening ayah bunda, atau menyalami tanah basahnya dengan sebuah perjuangan selama bertahun-tahun di pulau jawa, atau paling tidak mereka sudah memiliki rencana yang lebih pasti di rumahnya sendiri. Entah menikah, bekerja, lanjut S2, atau sebaliknya memangku tangan dan melupakan sebuah harapan panjang dalam kehidupan. Aku tidak tahu itu.

Pastinya aku hanya tahu diriku sendiri saat ini. Aku tahu bahwa aku sudah mulai bosan pada hidup-redup cahaya lampu kota. Pada hujan yang setiap sore datang dan membuat kenangan-kenangan basah lagi. Pada senja yang sudah tak seromantis saat dulu aku bawa pergi. Aku tidak tahu mengapa, aku hanya lelah pada sebuah melodrama perjalanan panjang yang membosankan dan hanya membuatku terpenjara oleh jarak yang dirasa lebih mencengkram jiwa ini.

Mungkin dibenak banyak orang, banyak kawan; aku adalah orang beruntung yang masih mampu bertahan untuk keberapa kalinya hidup di kota yang se elok ini. Menjadi bagian penting dari deretan orang di sebuah instansi, atau menjadi manusia yang selalu menulis setiap apapun yang terjadi dan sempurna menjadi puisi yang jauh dari sederhana. Atau bahkan orang akan berpikir berbeda; bahwa aku hanyalah seonggak manusia yang kurang ajar, hanya keluyuran dan suka main kemana-mana pada kota satu ke kota lainnya. Ada juga yang pernah bilang bahwa aku seperti binatang yang akan terus berlarian jika tidak di rantai dalam sebuah kandang. Aku tidak paham pada sebuah majas yang terlalu agung mereka tancapkan pada diriku yang memang masih mencari jati diri ini. Entah apakah mereka terlalu peduli, benci, atau bahkan sudah tak sudi dengan keberadaan diri ini.

Emak, siapa yang lebih mengerti dari pada matamu yang mampu membaca lukaku tanpa aku ungkapkan? Emak, siapakah yang lebih memahami dari pada tanganmu yang terus menghapus air mata yang jatuh tanpa alasan? Emak, siapakah yang lebih melindungi dari pada engkau yang terus menghubungi ku tiap hari meski hanya bertanya aku sudah makan atau belum? Emak, siapa kah diantara mereka yang lebih menghargai dari keberadaan anakmu yang begitu hina dan tanpa arti ini kecuali engkau yang melahirkanku dan menimangku setiap waktu lalu mencium keningku tanpa alasan apapun. Emak, bisikkan padaku dan yakinkan... bahwa Tuhan masih menyimpan dengan sangat baik segala harapan dan impian yang sudah kususun lama bahkan sejak kecil hingga akhirnya aku menjadi orang yang harus memahami betapa sandiwaranya hidup ini. Biarkanlah mereka mengenyahkan, melemparku berkali-kali, dan membuangku ke laut tak bertepi. Engkau, tetap lah jadi tubuh yang terus menerima kedatanganku dengan pelukan paling hangat dan punya arti. Biarlah mereka menyamakan aku dengan debu atau binatang di rantai, asal engkau tetap mengamini setiap doa yang menjadi rahasia antara aku dan Tuhan. Biarlah mereka ... asal engkau masih sanggup menerima kepulanganku dengan apa atau tanpa apa. Emak, aku ingin pulang sebentar saja. Menemuimu dan mengatakan bahwa aku rindu pelukan hangatmu setelah pelukan sunyi sepi lebih sering menggerogoti tubuh tak berdaya ini. emak, aku ingin pulang sebentar. Hanya sebentar, setelah itu aku akan lanjutkan rantauan ini hingga benar menemukan arti dan pada waktunya juga aku akan membawa kabar bahagia padamu, pada siapapun yang telah membuat aku bertahan di tanah rantauan ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun