Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Kata dan Ingatan saya sebagian ditulis di www.omah1001.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Salah, Kelaziman, Mayoritas dan Nurani

2 Februari 2015   11:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Terkadang kita memang harus membiarkan pikiran berputar-putar menemukan ujung dari pencarian makna diri. Pemaknaan diri, kelaziman dan mayoritas. Banyak kita selalu mencari pembenaran-pembenaran dari setiap kesalahan, atau bahkan tak pernah merasa salah.

Benarlah ungkapan, bahwa pengetahuan itu bertingkat; (1) ada yang tahu dan ia tahu bahwa ia tahu, (2) ada yang tahu, dan ia tidak tahu bahwa ia tahu, (3) ada yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa ia tidak tahu, dan (3) ada yang tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa ia tidak tahu.

Ketika ungkapan ini kemudian diturunkan pada pembenaran-pembenaran sikap manusia, maka kita akan sampai pada beberapa kataggori, (1) manusia yang benar, dan ia tahu tentang kebenaran tindakannya, tapi ia berusaha untuk tidak memamerkannya, manusia jenis ini adalah manusia tawadhu, (2) manusia yang benar, dan ia tidak tahu bahwa ia benar, manusia dalam kategori ini adalah manusia yang hanya ikut-ikutan, alias taklid, (3).  manusia yang tidak benar dan ia tidak tahu bahwa ia tidak benar, jenis manusia seperti ini adalah manusia yang khilaf dan tak sengaja melakukan kesalahan, dan (4) manusia yang tidak benar, dan ia tahu bahwa ia tidak benar, tapi ia terus melakukan ketidakbenaran itu berulang-ulang.

Jenis manusia yang keempatlah, yang bisa jadi paling sering kita temukan dan bahkan paling banyak jumlahnya di muka bumi ini. Pepatah yang kita akrabi, bahwa hanya keledailah yang mau jatuh ke lobang yang sama berkali-kali, inilah yang berlaku dalam keseharian manusia jenis keempat ini, meskipun ia tentu akan menolak jika diidentikkan dengan sejenis keledai.

Seringkali kita, menemukan orang yang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan sikapnya yang dinilai salah, bahkan bukan hanya oleh teman dekatnya, tetapi juga oleh nuraninya sendiri, namun tetap melakukan pembelaan diri, dan mencari alasan-alasan pembeneran untuk sekedar menolak anggapan bahwa ia salah.

Ada juga tipikal manusia yang tahu kesalahannya, kemudian meminta maaf tetapi dengan tetap mengikutsertakan alasan-alasan untuk mengesankan bahwa sebenarnya permintaan maafnya adalah bentuk sikap mengalah, bahwa pada dasarnya ia tak salah, ini adalah bentuk lain dari kejumawaan atau kesombongan atas kesalahan-kesalahan yang secara naluriah diakuinya, tapi gengsi untuk mengakuinya secara terus terang, laku seperti ini pernah dipraktekkan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab.

Ada juga tipikal manusia jenis keempat ini, mengakui kesalahannya dan meminta maaf tanpa membantah bahkan memohon pengampunan secara terus menerus kepada Tuhan, sebagai pembuktian bahwa ia telah insyaf dan kembali ke jalan yang benar, namun sesering dia minta maaf dan pengampunan, sesering itu pula dia mengulangi kesalahan itu. Inilah yang sering dikenal dengan istilah tobat sambal, merasa kepedasan tapi selalu ketagihan, merasa bersalah dan berdosa, tetapi sudah terlanjur menikmati kesalahan-kesalahan yang diakui tersebut.

Dalam dunia yang serba hiper-realitas ini, memang kita menjadi sangat sulit untuk menemukan definisi-definisi tunggal tentang kebenaran, batasan-batasan salah-benar begitu samar, kejatahan-kebathilan menjadi sangat abu-abu. Agama, hukum, aturan dan norma yang berlaku dan menjadi pedoman standar kehidupan menjadi sangat bias dan multi interpretasi.

Kejahatan yang dilakukan oleh mayoritas secara sistemik dan massif, bisa berubah menjadi kebenaran. Malu, menjadi salah kaprah dalam sikap, orang malu jika sendirian tidak melakukan kebaikan-kebaikan, malu karena konsisten memegang teguh kebenaran, menolak korupsi, malu karena dianggap bodoh tidak ikut kelompok yang terus menerus memperkaya diri sendiri.

Bahkan, harga diri juga direduksi maknanya sebagai sikap pengecut karena tidak berani melakukan perampokan uang negara, tidak dinilai jantan dan cukup punya nyali untuk mengangkangi kebiadaban. Akhirnya kebenaran selalu menjadi milik ego mayoritas, dan yang benar secara minoritas adalah salah.

Maka, pada point inilah kebenaran akan selalu terasing, dan orang yang memegang teguh kebenaran akhirnya memilih jalan sunyi. Kebenaran menjadi tidak lazim di negeri ini. Gila dan tidak gila, benar dan tidak benar, adalah sangat bergantung pada mayoritas dan minoritas yang memberinya tafsir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun