Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hilangnya Rasa Rindu

7 Januari 2020   12:15 Diperbarui: 7 Januari 2020   12:25 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Herm

Tiba - tiba saja terbangun dengan keringat membasahi sekujur tubuh. Bau pesing terasa begitu mengganggu nafas yang sedari bangun terus pengap. Mata nampak bias melihat sekeliling. Hanya tembok, tembok, dan tembok. Tangan dan kaki tidak ketinggalan terserang penyakit aneh yang sama, berat untuk digerakan, lemah.

Pikiran belum begitu jernih untuk memahami apa yang sebenarnya tengah melanda. Terlalu kabur. Padahal baru saja bermimpi berada di padang sabana hijau nan permai. Dikelilingi sekumpulan hewan ternak yang berkeliaran bebas, meloncat, berlari, bermain. Merdeka. Aku terduduk dibawah sebuah pohon besar, dengan akar yang menyembul ke permukaan tanah, batangnya kokoh, daunnya lebat. Entah jati, beringin, atau mahoni, yang jelas ia merupakan sebuah kedigdayaan diantara samudera rerumputan yang begitu mudahnya dihempas angin kesana kemari. Labil.

 Ketenangan menikmati indahnya panorama sabana seketika buyar. Seolah ada batu besar menghantam tulang belakang kepala. Hingga pada akhirnya aku terbangun diruangan ini. Dalam kelam dengan linglung. Tembok kumal itu menghalangi pandangku, membatasi gerak. Catnya yang sudah pudar menjadi bukti tempat ini terbelakang, terlupakan. Belum lagi kotoran cicak dan lalat terpampang nyata pada permukaannya.

Kulihat disini terdapat sebuah pintu dari besi, dengan gagang yang sudah mulai berkarat, tertutup rapat, dan hanya menyiskan sedikit celah dibawahnya, persis penjara dalam kastil. Disisi atas tembok itu terdapat sebuah jendela kecil atau entah ruang ventilasi, hanya membiarkan sedikit cahaya masuk, yang tampaknya dengan sengaja dihalangi dari luar, mungkin oleh papan, mungkin oleh seng.  Dipojok ruangan, terlihat pula sebuah tempat buang air yang baunya sangat tidak sedap.

Terasa pula aku hanya ditemani sebuah tikar dan sebuah sarung. Mungkin mereka atau entah siapa yang menaruhku merasa iba jika aku mati kedinginan di ruangan atau tepatnya sel ini. Sungguh tempat yang asing. Tak ada ingar bingar, bahkan hembusan angin pun sama sekali sulit terdengar. Ini mirip ruang isolasi, hanya sunyi. Lantas dimanakah ini ? Mungkinkah aku sudah mati ? Apakah ini penjara ? Ataukah sebuah ruang di alam baka ? Sulit menduganya. Raungan demi raungan lepas sekeras - kerasnya, namun tidak ada sahutan. Sunyi.

Suaraku makin parau, habis untuk mencari jawaban. Hanya saja aneh, aku menggugat untuk keluar dari sini, tapi setelah keluar akan pergi kemana aku ? Yang teringat hanya sebuah pohon di padang sabana, dan gerombolan hewan ternak itu, namun dimana letaknya ? Kemana arahnya ? Dan untuk apa kesana ? Aku tak ingat, ini terlalu aneh.

Mungkinkah aku terkena guna - guna ? Tapi kuyakinkan bahwa aku sadar seratus persen. Sekejap memejamkan mata dan berdiam diri. Tak lama terbersit sebuah rona yang sepertinya tak asing, tapi siapa ? Lama berdiam, aku semakin merasakan keterpautan, keteringatan dengan suatu hal, namun apa ? Sangat membingungkan.

Semacam ada rasa untuk pulang, tapi kemana ? Ya, nampaknya aku rindu, tapi mengapa ? Sebuah perasaan menariku dan mengarahkan untuk memikirkan seseorang, namun bayangan wajah itu terlampau bias. Kadang sesekali nampak jelas pun tapi tak kukenal. Berharap, namun tidak tau apa yang diharapkan. Itu yang terjadi. Dan itu memilukan.

Kepala seperti mau meledak saking penuhnya dengan berbagai macam pertanyaan. Mengapa ? Apa ? Bagaimana ? Semuanya begitu tampak kosong. Hanya pohon, rumput sabana, dan hewan ternak yang kuingat. Betulkah itu yang kurindukan ? Atau pada hal lainnya ? Aku hanya mampu terdiam, memikirkan itu semua, mencari sebuah jawaban, namun selalu mandek dengan kebuntuan.

Membayangkan sekaligus merasakan hidup tanpa kerinduan amat pedih. Tak ada tujuan hidup. Tanpa kerinduan semua tindak tanduk menjadi tidak jelas, tidak berguna. Mencari rindu jika sudah direnggut semuanya, benar - benar menyiksa. Bahkan inilah siksaan paling pedih di dunia. Wahai tuan, silahkan kalian hancurkan tubuhku, pancung, sekap, dan penjarakanlah aku. Tapi tolong, jangan kau rampas rinduku. Karena hakikat mati yang sejati adalah masih ada atau tidaknya rasa rindu dalam hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun