Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Update Maka Aku Ada

20 Desember 2018   06:30 Diperbarui: 20 Desember 2018   11:20 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Click2tech.com

Selama kita masih berpijak diatas planet yang sama, selama purnama tetap hadir setelah cahaya sang surya, maka selama itu pula lah pembahasan menarik mengenai eksistensi manusia masih menjadi bahan refleksi dan diskusi yang pantang untuk dilewatkan. Hal ini masih berakar pada satu aliran  filsafat eksistensialisme Rene Descartes yang berbunyi "Aku Berpikir Maka Aku Ada".

Sekitar abad ke-17 Descartes pernah berkata demikian, namun dewasa ini ada hal yang lebih dianggap penting dalam upaya menunjukan eksistensi seorang manusia daripada sekedar berpikir, dan hal penting itu tak lain adalah budaya update. Kalau dulu manusia dikatakan meng-ada itu karena kemampuan mendayagunakan akal saja, tentu pada zaman sekarang tidaklah cukup jika hanya sampai disitu.

Update adalah kunci. Betapa durhakanya saya jika tidak mengetengahkan masalah ini kepermukaan. Update tidak bisa kita pandang dengan stigma yang negatif saja seperti cari muka lah, cari perhatian lah, sombong lah, atau sekedar kode-kodean semata. Lebih jauh, update adalah sebuah upaya dari seorang anak manusia untuk menunjukan eksistensinya, menjadi ajang pembuktian pada dunia bahwa "aku" adalah bagian dari penggerak roda peradaban dan secara sadar terlibat dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya.

Di era post-tik-tok yang durjana ini, ihwal update seolah menjadi kebutuhan primer manusia dan menjadi gaya penyaluran akal budi manusia lewat berbagai macam simbol yang dapat di update semisal gambar, video, dan kata-kata. Dari konten update kita secara sekilas dapat memberikan penialain mengenai perasaan hati dan pola pikir seseorang. Orang yang sering update mengenai quotes bernada roman sontak membuat kita terkadang menjustifikasi bahwa orang tersebut tengah diterjang gelombang asmara.

Nyatanya memang psikologi sosial masyarakat begitu adanya. Publik mulai mengalami pergeseran makna dalam urusan menjustifikasi seseorang, dari yang dulunya dililhat dan dirasakan lewat interaksi dinamis, menjadi justifikasi satu arah, yaitu menjudge lewat postingan. Secara tidak langsung, hadirnya budaya update ini juga berdampak pada berkembangnya pola hidup masyarakat yang juga baru.

Patut disadari pula bahwa update telah layak kita tasbihkan sebagai kebiasaan yang terbudidayakan secara masif. Buktinya hampir setiap orang yang mempunyai akun media sosial semisal Instagram, Facebook, Line, dan Whatsapp  tak bisa dipisahkan dengan budaya update tatkala dihadapkan pada satu momen yang Instagramable.

Dorongan dan hasrat yang menggebu-gebu untuk mengabadikan momen langka itu tidak bisa dinafikan pasti dirasakan oleh banyak orang. Lantas kemudian setelah hasil jepretan foto itu telah tesimpan dengan aman dalam memori, tahap selanjutnya yang kemudian menjadi dasar fundamen bagi keberlangsungan eksistensi anak cucu adam ini adalah tak lain dengan cara meng- updatenya!

Saya rasa ini bukanlah hal remeh temeh yang tak layak kita berikan sorotan. Update menjadi tolok ukur dari sebuah budaya baru di babak kehidupan manusia yang makin modern. Dasar psikologi sosial masyarakat kita jika ditinjau dalam perspektif perkembangan budaya update ini bisa dipandang sebagai implikasi dari ciri karakter manusia abad ke-21 yang tinggi rasa keyakinannya (Self-Efficacy) dalam menunjukan eksistensinya.

Hal yang perlu digaris bawahi dari realitas ramainya budaya update ini adalah perlunya upaya pengendalian sosial (Social-Control) dan pengendalian diri (Self-Control) agar kemerdekaan yang diberikan untuk melakukan update ini tidak dilakukan secara berlebihan apalagi memancing keributan dan pertikaian. Intinya menunjukan eksistensi boleh, bikin kelahi jangan!  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun