Mohon tunggu...
Rahman Atthaliby
Rahman Atthaliby Mohon Tunggu... -

Membagi kegelisahan sosial, Melatih kreatifitas\r\ninvite me: www.rahmanmasigafiles.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) Th. 2013

20 Mei 2013   11:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:18 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

REFLEKSI PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL (UN) TH 2013:
Justifikasi Kecurangan Sampai Meredukdsi Wibawa Guru

“Buat ape kite belajar serius, nanti juge kite dibantu menjawab soal ujian. Kan guru malu kalo kita tak lulus?”…
Inilah kalimat yang cukup sering diungkapkan oleh anak-anak sekolah hari ini ketika akan menghadapi ujian. Sebuah ungkapan ironis dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. Secara tidak langsung ini juga merupakan sikap apatis terhadap dunia belajar mengajar di Negara ini.
Ungkapan diatas hanyalah salah satu kalimat yang sering diungkapkan untuk menggambarkan keseluruhan proses penyelenggaraan UN. Dalam konteks peningkatan kualitas pendidikan maka ungkapan tersebut menggambarkan sebuah fakta miris dalam system pendidikan nasional kita. Ketika individu-individu yang dihasilkan dunia pendidikan kita justru banyak yang menjadi “penghancur” moral bangsa. Ketika output system pendidikan kita sering dipertanyakan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) justru menciptakan sekaligus mempertahankan suatu system yang penuh kontroversi dan justru semakin melemahkan nilai-nilai edukasi negara kita.
Polemik penyelenggaraan Ujian Nasional sepertinya sudah menjadi tradisi tahunan untuk diperdebatkan. Disatu sisi pihak Kementerian Pendidikan Nasional dengan berbagai argumennya berusaha mati-matian mempertahankan kelangsungan penyelenggaraan Ujian Nasional. Dipihak lain para aktivis LSM, pemerhati pendidikan bahkan mungkin juga pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN seperti lembaga-lembaga sekolah dan masyarakat umumnya meminta agar UN tidak dilaksanakan lagi. Perdebatan ini mungkin akan terus terjadi dan tak akan berhenti selama penyelenggara UN yaitu Kemendiknas tidak mampu menemukan formula terbaik untuk melaksanakan UN.
UN dalam realitasnya telah menjelma menjadi momok menakutkan bak monster dalam cerita rakyat yang selalu datang setiap tahun untuk meminta tumbal. Bukan hanya calon peserta UN yaitu siswa-siswi tingkat akhir pada level masing-masing yang menunggu dengan penuh “ketakutan” tibanya “mahluk” bernama UN ini. Mulai dari guru, kepala sekolah, para orang tua semuanya seperti alergi dengan mahluk bernama UN. Semuanya bertanya-tanya didalam hati siapa lagi yang akan menjadi tumbal tahunan?…
Ketakutan-ketakutan ini kemudian menjadi berlebihan sehingga mendorong pada terciptanya berbagai siasat untuk menghindari hasil buruk. Ketakutan-ketakutan yang kemudian menjelma menjadi hantu yang selalu menggiring pada kesesatan. Kesesatan mewujud pada terkondisikannya berbagai upaya kecurangan. Kesesatan ini kemudian termanifestasi dalam wajah pembiaran kolektif dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai kesucian sebuah pendidikan.
Sebagai orang tua, tidak satu pun dari mereka yang mau anaknya dijadikan tumbal UN dengan alasan pendataan, standarisasi, demi peningkatan kualitas pendidikan nasional atau apapun itu. Bahkan pihak pemerintah setempat pun ikut-ikutan sibuk memberikan “pengamanan” agar kualitas pendidikan di dalam wilayah teritorial mereka tidak dicap gagal. Oleh karena itu, atas nama menyelamatkan “muka” sekolah dan pemerintah daerah setempat dilakukanlah berbagai upaya meskipun harus menciderai nilai-nilai yang justru lekat dengan dunia pendidikan itu sendiri.
Dalam sebuah kasus, kepala sekolah bahkan memerintahkan siswanya yang menjadi peserta UN untuk membuka buku sewaktu berlangsungnya ujian jika siswa tersebut tidak tahu jawaban soal. “Tim Sukses” pun dibentuk untuk membantu meluluskan peserta ujian baik itu bertugas selama ujian berlangsung maupun setelah ujian. Peristiwa ini bukan lagi sesuatu yang dianggap aurat tetapi sudah mentradisi secara turun temurun. Siswa yang mengikuti ujian tahun ini pun akan mewariskan cerita “memalukan” ini pada adik kelasnya nanti.
Saat masuk ke kelas 1 (satu), sang guru menanamkan nilai-nilai kejujuran. Ketika berada di kelas 2 (dua), sang pendidik pun menguatkan nilai-nilai ideal tersebut. Tapi disaat menginjakkan kaki di kelas 3 (tiga) perlahan peserta didik mengetahui bahwa apa yang pernah diajarkan gurunya tidaklah seratus persen dijaga oleh guru bersangkutan. Kegiatan belajar mengajar, pelajaran tambahan, try out seolah-olah hanya menjadi formalitas belaka. Karena toh mereka tahu bahwa nanti bila tiba masanya bantuan akan datang. Bahwa sesungguhnya para pendidik yang mengajar mereka juga menjustifikasi kegiatan contek menyontek, membuka buku kala ujian dan berbagai kecurangan lainnya dalam UN nanti.
Peristiwa diatas bukanlah rekaan semata. Bukan juga cerita dari mulut ke mulut. Melainkan tragedy yang terjadi secara nyata dan memiliki validitas tinggi sebagai suatu informasi. Ibarat mutawatir dalam kaidah hukum periwatan sebuah hadis. Bahwa telah terjadi pembiaraan kebohongan massal adalah kenyataan yang tak bisa dibantah. Bahwa tergerusnya wibawa guru merupakan tragedy memilukan dalam dunia pendidikan. Bahwa semakin hilangnya kepercayaan semesta kepada dunia pendidikan adalah kondisi riil dunia pendidikan nasional kita. Bahwa 3 (tiga) tahun, 6 (enam) tahun atau bahkan lebih lama dari itu, penanaman nilai-nilai moral sebagai efek pendidikan terhapus seketika hari itu juga adalah suatu sejarah pahit yang akan terus mendiami memori kolektif anak-anak didik.
Melihat realitas diatas yang begitu memilukan masih pantaskan para stakeholders dibidang pendidikan nasional bertahan dengan berbagai argument yang terkesan dibuat-buat. Bisakah hasil ujian nasional yang penuh kebohongan dijadikan barometer standar kualitas pendidikan kita? Dapatkah hasil UN yang sarat kecurangan dijadikan dasar pemetaan dunia pendidikan kita? Validkah hasil UN yang sesungguhnya lebih merupakan hasil kerja guru-guru bidang studi bersangkutan untuk dijadikan tiket masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN)? Masih pantaskah penyelenggaraan UN yang sarat nilai proyek materil dilaksanakan jika harus mengorbankan kewibawaan guru?
Sejatinya masih banyak pertanyaan yang menggelayut di hati masyarakat kita. Tetapi beberapa pertanyaan diatas mungkin dapat mewakili keresahan social yang terjadi selama pelaksanaan UN. Bahwa UN memiliki dampak positif jelas iya. Tapi efek negatif yang ditimbulkan juga jelas lebih besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian lebih arif agar UN dapat menemui sasaran tanpa harus mengorbankan peserta didik dan guru. Skema pelaksanaan UN juga harus dikonstruk ulang sehingga kesan angker tidak melekat padanya. Sejatinya pun reorientasi penegakan nilai-nilai moral harus terintegrasi dalam penyelenggaraan UN.
Sebagai suatu hasil olah pikir para ahli pendidikan, sebagai hasil “studi banding” dari kebijakan system pendidikan dari negeri bule sono mungkin tidak juga terlalu tepat jika UN dihapuskan begitu saja. Bahkan mungkin tetap harus ada tapi tentu dengan skema, orientasi dan paradigma yang berbeda. Dan tentunya, unsur-unsur filosofis UN yang lahir di Barat sana harus terpenuhi terlebih dahulu di negeri ini. Atau jika tidak, dunia pendidikan kita semakin jatuh, moralitas anak negeri kedepannya semakin ambruk dan Negara semakin terpuruk?!.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun