Mohon tunggu...
Ruly Rahadian
Ruly Rahadian Mohon Tunggu... -

Lahir di Bandung. SD di SD Moestopo, SMP di SMP5 Bandung, SMA di SMA1 Bandung, kuliah di Institut Teknologi Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membaca Tanda-tanda Alam

21 Februari 2010   10:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:49 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_78794" align="alignleft" width="300" caption="Pintu Makam Sunan Gunung Jati"][/caption] Mungkin terlalu berlebihan jika disebut dengan istilah membaca tanda-tanda alam, namun banyak pertanyaan dari dalam diri kita yang secara sadar maupun tidak telah tersedia jawabannya di sekitar kita. Awalnya saya masih ragu untuk meyakini apakah tanda-tanda itu merupakan sebuah petunjuk atau sekedar kebetulan. Kebetulan pula keluarga saya berasal dari Cirebon, dan kami mempunyai ikatan kuat dengan Gunung Jati baik secara fisik maupun emosional. Sejak saya masih berusia anak-anak, orang tua saya selalu mengunjungi Gunung Jati membawa saya secara rutin, karena memang para leluhur keluarga kami dimakamkan di komplek makam tersebut. Entah sugesti atau memang kepekaan yang pada akhirnya membentuk mindset kami, setiap langkah menuju komplek makam, setiap pintu tingkatan yang kami lewati, sapaan setiap juru kunci sering mengurus keperluan keluarga kami, semua memberi tanda yang khas dan dapat kami cerna secara bersamaan. Memang generasi muda keluarga kami belum mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi, sehingga orang-orang tua sering menerjemahkan fenomena yang terjadi di kawasan tersebut. Sebuah pengalaman yang masih saya ingat sampai sekarang adalah ketika mengantar nenek saya berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Setelah mengirim doa kepada arwah para leluhur, nenek saya yang berada dalam posisi duduk berusaha berdiri, kemudian tiba-tiba terjatuh lagi. Kontan para tetua keluarga saling berpandangan mata satu sama lain, seperti telah menangkap isyarat yang sama. Sampai di mobil, saya bertanya kepada salah seorang paman untuk mendapat penjelasan kejadian tadi. Tak ada komentar dari mulutnya sepatah katapun juga. Saya bertanya lagi kepada orang tua yang lain, seolah mereka tidak ingin mengucap kata yang kelihatannya berat. Akhirnya saya desak ayah untuk menjelaskan kejadian tersebut. Dengan berat hati ayah saya menjelaskan, bahwa tanda yang digambarkan dengan jatuhnya nenek saya ketika hendak berdiri itu merupakan gambaran "jatuhnya" nenek dalam kehidupannya. Artinya, secara sederhana perjalanan hidup nenek saya itu sebentar lagi akan "jatuh" alias selesai. Saya mengomentari dengan tertawa kecil, dan saya tegaskan lagi bahwa umur tidak ada yang bisa menduga. Ayah saya membenarkan, tapi ia tetap waspada terhadap tanda ini, bahkan mengingatkan saya agar peka terhadap tanda yang diberikan oleh alam. Singkat cerita, dua minggu setelah kejadian ini, nenek saya dikabarkan sakit diare. Satu hari setelah beliau "bebersih" badan, akhirnya menutup mata untuk selamanya dengan tenang dan dalam keadaan sedang tidur nyenyak. Pada saat kami mengadakan pengajian, seluruh keluarga berkumpul dan mereview kejadian di makam Gunung Jati yang terjadi dua minggu yang lalu. Sebuah kejadian lagi masih belum memberi pengaruh kepada saya untuk peka terhadap tanda yang diberikan alam ini. Suatu hari, kami sedang berziarah ke makam Gunung Jati bersama adik nenek. Pada saat kami akan memasuki pintu makam menuju ke dalam, kami selalu melakukan ritual wudlu di dekat pelataran pengunjung yang berziarah. Ayah saya selalu berpesan jika memasuki area makam, agar mencermati kondisi air untuk berwudlu yang dialirkan dari dalam sebuah gentong gerabah. satu persatu kami berwudlu, dan melihat kondisi air yang keluar dari gentong tersebut. Air mengalir dengan deras dan jernih! Tampak wajah ayah saya tenang dan berseri. Ketika adik nenek berwudlu, tiba-tiba air yang jernih tersebut berubah menjadi keruh bercampur endapan lumpur dari dasar gentong. Kembali para orang tua saling berpandangan satu sama lain, persis seperti ketika melihat nenek almarhumah terjatuh. Kembali saya bertanya pada ayah saya, tanda apa yang barusan kami lihat bersama. Ayah saya menjelaskan, bahwa kami harus bersiap-siap jika ada kejadian tidak enak yang akan terjadi dalam waktu dekat terhadap adik nenek. Sampai di mobil ketika kami akan kembali ke Bandung, wajah adik nenek itupun tampak kuyu, karena sebagai orang tua, beliaupun memiliki sensitivitas yang tinggi untuk menyerna kejadian yang baru terjadi pada dirinya. Sekitar dua minggu setelah kejadian, saya yang sedang bekerja di Jakarta mendapat kabar bahwa adik nenek masuk rumah sakit karena jatuh di halaman rumah, yang mematahkan tulang panggulnya. Hanya bertahan sekitar empat bulan saja, akhirnya adik nenek menyusul kakaknya kembali ke pangkuan Tuhan. Dengan kejadian besar tersebut, saya mencoba semakin cermat dan tanggap terhadap tanda-tanda atau fenomena yang terjadi di sekitar diri saya. Sempat saya kecolongan, yaitu ketika saya memperkenalkan seseorang kepada istri saya yang rencananya akan membuat kerjasama bisnis. Waktu itu kami makan siang di sebuah restoran di kawasan Senayan Jakarta. Ketika anak saya yang waktu itu berumur 3 tahun disuruh untuk memberika salam kepada calon mitra tersebut, tiba-tiba menangis histeris seeprti ketakutan begitu melihat wajahnya. Sempat ada perasaan tidak enak di hati saya. Namun saya segera mengalihkan pikiran saya agar tidak berprasangka dan berpikiran negatif terhadap orang. Anehnya, anak saya itu sejak batita bukan anak yang penakut. Beberapa kali di apartemen tempat kami tinggal, ia sering memergoki mahluk yang tidak jelas asal-usulnya, dan dengan santainya ia bercerita kepada istri saya yang akhirnya jadi ketakutan di rumah sendiri. Setelah kerja dengan orang itu berjalan, ternyata terjadilah hal yang ditakutkan bagi pada pebisnis, yaitu kerugian yang disebabkan salah seorang mitra tidak bertanggung jawab dan menyebabkan kebocoran modal kerja. Sempat menyesal karena tidak mengikuti kata hati dan kurang tanggapnya pada kepekaan yang sebenarnya sudah terbentuk. Selang beberapa tahun kemudian, saat saya sudah beberapa kali pindah tempat kerja dan berganti usaha, mulai banyak tanda-tanda yang muncul di hadapan saya. Mungkin karena situasi kerja yang bersifat realistis dan logis, kembali membuat saya kurang memperhatikan hal-hal tersebut sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan. Pernah sekali waktu saya sedang kebingungan karena rencana kerja yang sedang kami garap ini tidak juga menemui titik terang. dalam keadaan bingung, saya keluar kantor dan berniat untuk berputar-putar tanpa tujuan, hanya untuk berpikir. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah stiker klub sepak bola Persib yang menempel di kaca sebuah mobil minibus, bunyi tulisan di stiker tersebut adalah WASIT GOBLOG! Wasit goblog? saya jadi berpikir. Saya adalah "wasit" dalam rencana kerja tersebut, karena sayalah yang menghubungkan dua pihak yang bekerjasama, agar keduabelah pihak bisa sepaham dan pekerjaan bisa berjalan. Saya memutar kembali mobil menuju kantor dan mengevaluasi kerja saya, dan terbukti sayalah yang goblog. Dengan penguraian kembali masalah secara detil dan analisa tidak berjalannya rencana kerja tersebut, akhirnya terurailah penghambatnya. Akhirnya, setelah merevisi kegoblogan yang saya lakukan, pekerjaan tersebut berjalan dengan baik. Pengalaman akhirnya membuat saya semakin tanggap terhadap apapun yang terjadi di sekitar diri saya. Dan ini sudah terbukti ketika saya dari Lampung kembali ke Bandung untuk memutuskan apakah saya jadi berkarir di Lampung. Ketika berada di atas ferry, saya berpikir keras, apakah pilihan saya benar untuk memantapkan karir di Lampung. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah elemen estetis ferry tersebut. Di sebuah dinding terpampang gambar pulau sumatera dan pulau jawa. Di pulau sumatera bagian Lampung, terdapat gambar seorang wanita berpakaian adat penari Lampung. Begitu saya memalingkan wajah ke arah kanan, ternyata gambar yang ada di pulau jawa adalah figur seorang penari Topeng Cirebon. Saat itu juga saya medapat jawaban yang telah disediakan oleh alam, yaitu saya yang asli Cirebon, digambarkan oleh figur Topeng Cirebon tersebut, bisa menjalin hubungan-hubungan dengan baik dengan Lampung berikut warganya. Setelah kembali lagi ke Lampung, banyak kemudahan dan kebaikan yang harus saya syukuri, yaitu begitu ramahnya bumi Lampung dan warga Lampung yang menerima saya sebagai bagian dari anggota keluarga besarnya. Kejadian berikutnya merupakan tanda bahwa saya masih diberi anugerah oleh Tuhan, ketika saya sedang berpikir keras membuat program kerjasama antara Lampung dan Jawa Barat yang diurai dalam bentuk kerjasama antar kota dan kabupaten yang ada di dalamnya. Ketika saya mengendarai mobil di kawasan Panjang, saya sedang berpikir, apa nama program yang kelak akan saya gunakan untuk kerjasama antar dua daerah ini, sekaligus mengupayakan sinergi atas persahabatan dua provinsi. Di otak saya tergambar dua simbol dari dua provinsi, yaitu Siger lambang Lampung, dan Kujang lambang Jawa Barat. Otomatis mekanisme otak kanan saya bekerja sambil merangkai brand name proyek ini. SIGER KUJANG PROJECT! begitulah kata yang muncul di benak saya. Saya berpikir lagi, apakah nama proyek ini akan dilanjutkan atau tidak. Tiba-tiba muncul sebuah truk gandengan peti kemas menyusul mobil yang sedang saya kendarai. Persis di depan mata saya, bagian belakang truk peti kemas itu bertuliskan kata SIKU cukup mearik perhatian mata karena berwarna kontras dengan ukuran besar! Siku... Cocok seperti yang ada di benak saya, yaitu Siger Kujang. Akhirnya Siku Project ini sedang digodok untuk menjalani penyempurnaan-penyempurnaan terhadap berbagai kekurangan yang ada padanya. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, saya mencoba menyikapi semua yang terjadi di sekitar kita ini sebagai tanda yang diberikan alam kepada kita. Ini baru hal kecil, bukan tidak mungkin dengan kepekaan yang tinggi, kita dapat menerjemahkan apa yang alam berikan kepada kita. sayangnya, manusia sendiri yang telah merusak alam beserta segala isinya, sehingga keseimbangannya terganggu, dan mekanisme yang seharusnya berjalan sudah tidak berfungsi dengan baik. Akhirnya, bukan tanda-tanda baik yang kita terima, melainkan "murka"nya alam kepada si pembuat ulah yaitu manusia itu sendiri, dalam berbagai bentuk bencana dahsyat seperti banjir, longsor, akibat-akibat dari pemanasan global dan lain sebagainya. Tentu saja semua ini kembali kepada kekuasaan Tuhan, karena hanya Dia lah yang dapat memberikan sesuatu dan mencabut kembali apa yang telah Ia berikan kepada manusia sebagai hambaNya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun