Mohon tunggu...
Rafli Marwan
Rafli Marwan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bahasa, sastra, dan Budaya

"Seorang Penulis dapat melihat segi-segi lain yang umum tidak mampu melihat (Pramoedya)"

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Film Bumi Manusia dan Idealisme Pramoedya

14 Juli 2019   02:06 Diperbarui: 14 Juli 2019   02:32 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bumi Manusia telah difilmkan dan tayang pada agustus 2019. Sebagai karya yang fenomenal dipastikan banyak penonton dan tentu memperoleh keuntungan besar.

Tetapi muncul pertanyaan yang cukup menarik: Seandainya Pramoedya hidup hari ini ketika Bumi Manusia difilmkan apakah dia mengiyakan, atau dia menolak demi idealismenya.

Tentu Pramoedya  juga memperoleh keutungan karena karyanya difilmkan. Daripada hanya sebatas buku yang keuntungannya tidak seberapa dan pembaca yang terbatas.

Selain itu film juga mendorong lakunya penjualan buku dan penikmatnya semakin luas, sama seperti Dilan, Ayat-Ayat Cinta, dan beberapa novel lain yang berhasil difilmkan. Tetapi, benarkah kemungkinan seperti itu apabila Pramoedya hidup ditengah situasi yang semakin modern.

Pertanyaan mengiyakan atau menolak mengingatkan kita tentang cerpen Pramoedya "Sunyi Senyap Disiang Hidup" yang diulas oleh Scherer (2012). Cerita ini memuat masalah universal: memilih berkarya demi idealisme atau demi kecukupan ekonomi. Pramoedya memposisikan dirinya dengan tokoh cerita yang memilih kebebasan sebagai penulis dan menolak tawaran sebuah perusahaan bisnis.

Gambaran cerita tersebut kita menemukan idealisme Pramoedya dan menjadi sandaran logis bahwa naluri kreatifitas dan produktifitas menulis adalah kebebasan yang menolak segala pengaruh dari luar yang menjadi ancaman.

Bahasa adalah alat murni kreatifitas dan produktifitas dalam menulis keindahan sastra. Apabila terpengaruh dari luar, kemurnian itu akan berubah dan akhirnya kualitas sastra sebagai pengalaman bersejarah akan berkurang.

Karya sastra dengan alur yang panjang akan disensor ketika menjadi naskah perfilman. Segala percakapan antar tokoh yang mengikat alur tak lagi utuh karena dipotong menyesuaikan durasi film. Di sinilah karya sastra tak lagi murni, tak lagi bebas, tak lagi hidup dalam dirinya sendiri.

Karya sastra bagi Pram adalah anak rohani yang hidup bebas dalam dirinya sendiri. Jika disensor maka karya sastra menjadi anak rohani yang cacat. Tentu kita  mengatakan hal itu tidak masalah yang penting memuat gambaran umum isi cerita dan tidak menghilangkan unsurnya sebagai Bumi Manusia. Tapi bagaimana mungkin anak rohani dipotong-potong yang penting bagian tubuh yang tersisa dapat mewakilinya sebagai manusia. Kalau yang tersisa adalah kepala, masih hidup? Tentu tidak.

Karya sastra, meminjam Marx harus bebas dari sensor wujud dan isi karena keduanya adalah kebenaran yang merupakan roh karya sastra.

Karya sastra yang difilmkan, bagi Marx, sesuatu yang sangat mengkhawatirkan, karena karyanya, meninjam Lenin, jatuh dalam penjara komersial borjuis: sebuah istilah yang dikhawatirkan dan dibenci Pramoedya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun