Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Bau Busuk di Tengah Upaya Go Internasional Aceh

27 April 2012   04:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 2058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang sejarah pemilihan gubernur di republik ini, belum pernah ada road show yang dilakukan oleh gubernur terpilih ke kedutaan-kedutaan besar asing di Jakarta sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Gubernur terpilih Aceh 2012 Zaini Abdullah. Kemarin, Zaini Abdullah dan Pemangku Wali Nanggroe Malek Mahmud melakukan kunjungan ke Kedubes Kanada dan AS untuk bertemu dengan para duta besarnya. Dalam kesempatan tersebut, Zaini mengundang baik Dubes AS maupun Dubes Kanada untuk menghadiri saat pelantikannya sebagai Gubernur Aceh terpilih Mei mendatang. Di samping kedua dubes tersebut, sebelumnya, kedua elit Partai Aceh tersebut juga telah bertemu dengan Dubes Australia dan Uni Eropa maupun tokoh-tokoh manca negara lainnya. Fenomena perjalanan “kemenangan” atas pemilukada Aceh 2012 lalu, sepertinya dijawab dengan “kerja” oleh gubernur terpilih berupa manuver politik internasional dalam upaya memperkenalkan Aceh kepada dunia. Tetapi benarkah demikian? Apa kepentingan tersembunyi di balik manuver tersebut?

Sebagaimana diketahui. Aceh merupakan salah satu daerah yang diistimewakan oleh Jakarta. Bekas daerah konflik tersebut, saat ini menjadi satu-satunya daerah yang menerapkan syariat Islam sebagai bagian dari hukum formal yang berlaku dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Aceh. Keistimewaan ini pun diperkuat dalam UU tentang pemerintahan Aceh no 11 tahun 2006. Di samping penerapan nilai-nilai keislaman, Aceh juga “cukup special” dengan kekayaan alam yang berlimpah. Potensi minyak hidrokarbon di timur laut Simeulue diperkirakan mencapai 320 miliar barrel, jauh di atas cadangan minyak Arab Saudi yang hanya memiliki volume sebesar 264 miliar barrel. Selain itu juga terdapat potensi tenaga panas bumi di Jaboi, Sabang, serta emas, tembaga, timah, chrome dan marmer di Pidie. Perut bumi Aceh juga menyimpan tembaga alam seperti Native Copper, Cu, Chalcopirit, Bornit, Chalcosit, Covellit dan biji tembaga berkadar tinggi lainnya. Luar biasa. Begitu istimewanya Aceh, menjadikan Aceh dinilai cukup pantas untuk “dijual” di pasar dunia, setidaknya demikianlah pemikiran yang saya tangkap dari para elit Aceh saat ini.

Maksud dan niat yang terkandung dalam kunjungan Zaini dan Malek Mahmud tersebut, tentunya membawa misi, dimana “terselip” kepentingan di antaranya. Dan dalam setiap kepentingan selalu ada hal-hal yang dikompromikan untuk “take and give”. Menyadari begitu banyaknya hal yang bisa “dijual” dari Aceh, tentunya tidak terlalu sulit bagi Zaini dan Malek guna “memperkenalkan” Aceh kepada dunia, dimana ada manfaat yang dapat diperoleh bagi Aceh di kemudian hari demikian juga sebaliknya oleh pejabat Negara-negara yang dikunjunginya tersebut. Memang secara ekonomi, berbagai bentuk investasi dapat ditawarkan di Aceh sepanjang memperoleh jaminan keamanan, namun saya juga menilai ada bahaya mengintai dari kemungkinan jalinan kerjasama asing dan Aceh secara langsung di masa mendatang, sebagaimana bahaya neo-liberalisme yang melanda dunia Islam. Contoh nyata sudah tampak terlihat dengan revolusi berefek domino di negara-negara Timur Tengah maupun Afrika.

AS akan memasukkan Aceh sebagai bagian dari geostrateginya di kawasan Asia Tenggara

Sebagaimana diketahui, Aceh merupakan pintu masuk Selat Malaka, jalur teramai di dunia sekaligus menjadi jalur strategis banyak negara di kawasan timur dalam supply energi maupun barang-barang industri dan manufaktur dagang. Secara geografis, nilai Aceh sangat tinggi bagi AS dalam upaya mendukung rencana strategisnya di kawasan Asia Tenggara. Selat Malaka juga merupakan jalur laut menuju Laut Cina Selatan, tempat paling ramai di dunia yang juga merupakan kawasan yang sangat rawan konflik dimana lebih dari 10 negara “membagi” kepentingannya di kawasan tersebut. Sejak kehilangan pangkalannya di Philipina, praktis AS “kehilangan” pamor di kawasan Asia Tenggara, dan kedudukannya dengan cepat digantikan oleh Cina. Cina sendiri pada perkembangan terakhir semakin menunjukkan dominasinya di kawasan Asia sebagai entitas tunggal kawasan tersebut khususnya Laut Cina Selatan. Beberapa kali telah terjadi konflik di Laut Cina Selatan dengan negara-negara yang berada di kawasan tersebut, dan yang terakhir adalah antara militer laut Cina dan Philipina. Sehingga secara geostrategis, AS tentunya menilai bahwa presentasi negaranya di kawasan Asia Tenggara sangatlah diperlukan dan menjadi prioritas, sebagaimana kebijakan baru pemerintahan Obama yang akan menjadikan kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara sebagai prioritas geostrategisnya. Inilah bahaya yang mengintai Aceh di kemudian hari, bahwa Aceh akan sangat memungkinkan untuk dijadikan salah satu pangkalan AS dalam membangun perimeter strategisnya di kawasan Asia Tenggara. Saya memperkirakan kawasan Sabang menjadi daerah yang sangat strategis bagi penempatan pasukan maupun penjaga keamanan di kawasan. Hal ini sangat memungkinkan terjadi dengan kemenangan Partai Aceh maka diperkirakan kemandirian Aceh melalui lembaga Wali Nanggroe yang akan menjadi prioritas untuk disahkan dengan segera oleh pemerintahan Aceh yang baru nantinya.Kita lihat bagaimana Pemangku Wali Malek Mahmud pun sudah mulai ikut "diperkenalkan" dalam lawatan Zaini ke kedubes-kedubes asing.

13354999071411756453
13354999071411756453

Dalam draft qanun Wali Nanggroe yang digagas oleh fraksi partai Aceh di DPRA, disebutkan mengenai kewenangan lembaga Wali Nanggroe untuk menguasai asset Aceh di dalam dan luar negari, menandatangani kontrak bisnis dengan pihak asing dan meresmikan pembukaan konsulat Aceh di luar negeri. Secara domestik, hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 dimana dalam pasal 33 UUD 45 disebutkan bahwa "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara  dan dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat." Sehingga sangat dimungkinkan apabila qanun ini disahkan oleh Zaini cs, maka konflik terbuka antara pemerintah Aceh dan Pusat yang mengancam perdamaian akan kembali terjadi. Dan penyalahgunaan kewenangan oleh lembaga Wali Nanggroe dalam melakukan perjanjian dengan pihak asing sangatlah beresiko besar bagi rakyat Aceh sehingga bentuk-bentuk penjajahan gaya baru pihak asing akan semakin menyengsarakan rakyat Aceh di kemudian hari.

Quebec, Kanada merupakan “role model” bagi Malek Mahmud dalam mengimplementasikan Lembaga Wali Nanggroe.

Quebec Kanada adalah provinsi terbesar Kanada sekaligus menjadi provinsi terkaya di negara tesebut. Secara histories, Quebec sendiri merupakan daerah jajahan Perancis yang memiliki dimensi sosial, budaya dan bahasa yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Kanada. Mirip dengan Aceh, Quebec pun memiliki partai lokal yang menjadi mayoritas dalam kursi DPR provinsi sehingga “kehadiran” pemerintah pusat tidak begitu terasa. Pada tahun 1980an parlemen Quebec menuntut kemerdekaan secara penuh kepada Pemerintahan Kanada dengan dukungan mayoritas dari parlemennya, meskipun tidak disetujui namun kewenangan dan pengaruh Quebec begitu besar bagi provinsinya. Saya melihat inilah yang menjadi contoh bagi Malek Mahmud dalam mengimplementasikan Lembaga Wali Nanggroe untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi maupun kelompoknya.

Bagi saya, Aceh adalah daerah yang sudah mandiri atas dasar UUPA maupun MoU Helsinki, keistimewaan Aceh memungkinkan Pemerintah Aceh untuk mengatur sendiri wilayahnya tanpa campur tangan berlebihan dari pemerintah pusat. Namun demikian, keistimewaan dan kemandirian Aceh hendaknya tidak disalahartikan dan dimanfaatkan demi kepentingan–kepentingan maupun mimpi-mimpi liar beberapa elit Aceh. Oleh karenanya, Gubernur terpilih sangatlah perlu hati-hati dalam melakukan setiap kegiatan maupun mengambil keputusan, sebab yang dipertaruhkan adalah 4 juta lebih rakyat Aceh. Selanjutnya, menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Aceh untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Aceh nantinya. Hati-hati, terhadap domba berbulu musang.

Wassalam,

Rafli Hasan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun