Mohon tunggu...
Rafi Zhafran
Rafi Zhafran Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Botol Hitam Beracun, di Tanah Baduy

12 Oktober 2018   01:57 Diperbarui: 12 Oktober 2018   02:26 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung" Kalimat itu seketika saja melekat di kepala, saat pertama kali membacanya. Kalimat itu dicetak putih pada sebuah papan hitam besar, dengan judul AMANAT BUYUT.

Papan itu berisikan tiga belas amanat buyut Baduy, yang ditulis dalam bahasa Baduy dan Indonesia. "Intinya, tidak ada yang boleh berubah atau dirubah di sini, di Baduy," jelas kang Emen, dengan lembut namun tegas.

Suku Baduy atau orang Kanekes, merupakan kelompok masyarakat adat yang bermukim di kaki pegunungan Kedeng di desa Kanekes, Lebak, Banten. Secara umum suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Masyarakat Baduy Dalam tetap menutup diri dari pengaruh dunia luar, dengan tetap konservatif dalam menjaga adat istiadat warisan para buyut. Bahkan beberapa larangan yang masih berlaku sampai saat ini, membuat mereka hidup dalam kesan primitif. Berbeda dengan masyarakat Baduy Luar yang sudah tersentuh modernisasi dan teknologi.

Pagi itu dengan ikat kepala putih khas Baduy Dalam, kang Emen serta beberapa bocah Baduy lain sudah berkumpul di terminal Ciboleger. mereka bersiap untuk menawarkan jasa porter barang sekaligus local guide kepada pelancong yang hendak mengunjungi desa mereka. Harga yang mereka tawarkan, mulai dari 80 ribu sampai 100 ribu rupiah untuk perjalan pulang dan pergi.

"Sekitar sembilan tahun-an lah" jawab Yatiwin, dengan ragu saat saya tanyakan usianya. Menurutnya, masyarakat Baduy Dalam hanya berusaha mengira-ngira jika ada yang bertanya. Sebab sampai saat ini masyarakat Baduy Dalam masih belum melakukan pencatatan pasca kelahiran.

Meskipun terik matahari siang itu, tidak berkutik oleh rimbunnya pepohonan. Tetap saja, akses jalan yang kasar dan terjal mengharuskan saya berhenti berkali-kali untuk sekedar meluruskan kaki dan mengatur nafas. Berbeda dengan kang Emen dan Yatiwin, yang sudah terbiasa meski tanpa bantuan alas kaki sedikitpun.

baduy 2
baduy 2
Ketika melewati desa-desa Baduy Luar, tampak lumbung-lumbung padi tertata rapi di bantaran sungai, para wanita sibuk menggoyangkan tangan pada alat tenun, serta suara aliran sungai yang menenangkan, menjadi pengobat bagi para pelanancong yang datang dari ibukota yang jenuh.

Sekitar pukul enam sore, sunyi dan sayup-sayup cahaya obor menandakan kedatangan saya, di desa Baduy Dalam. Gelapnya jalan mengharuskan saya berhati-hati saat melangkahkan kaki, mengikuti kang Emen.

Di rumah kang Emen, saya disambut oleh orang tua laki-laki kang Emen, yang telah menyiapkan makan malam. Setelah makan, Abah mulai bercerita tentang desa, tradisi, serta pengalaman muda dulu.

Meskipun senang mendengar cerita Abah tadi malam, masih ada yang mengganggu di pikiran saya hingga pagi ini. Bukan bagian cerita Abah penyebabnya, melainkan pada sebuah botol kaca berwana hitam.

Botol berisi air yang dituang Abah ke gelas-gelas bambu saat makan malam, sebab botol hitam tesebut nampak seperti Amber glass bottle, botol yang lazimnya digunakan sebagai kemasan dan wadah penyimpanan zat kimia murni berkonsentrasi tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun