Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mencegah Politik Transaksional Perlu Belajar dari Pemilu

26 Februari 2020   02:31 Diperbarui: 26 Februari 2020   06:04 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia perpolitikan di Indonesia tak henti -- hentinya memberikan kabar yang cukup krusial, mulai dari perbedatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dikembalikan ke DPRD, penambahan anggaran partai politik, sampai peta politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.

Era keterbukaan informasi telah memudahkan masyarakat menyaksikan ancaman-ancaman demokrasi. Salah satu permasalahan yang berulang terjadi adalah proses transaksional selama gelaran kontestasi pemilu.

Indonesia akan menghadapi gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 pada 23 September 2020 mendatang, dengan rincian sembilan pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 37 pemilihan walikota.  

Setiap kontestasi pemilu digelar, ada paradigma yang berkembang, bahwa ada proses tukar-menukar jasa atau dalam bahasa perniagaan disebut sebagai proses transaksional. 

Para kandidat bersama politisi, partai politik dan masyarakat secara langsung, telah membangun kesepakatan memenangkan kandidat yang akan dimenangkan.

Akibatnya, para politisi terjerumus dalam skandal-skandal hukum, baik itu korupsi, penyalahgunaan wewenang hingga sikap tidak berpihak kepada rakyat. 

Politik secaman ini bukan saja disebabkan mahalnya ongkos politik, melainkan krisis ketokohan. Akibatnya, transaksional menjadi cara agar masyarakat mau memilih figur yang akan dimenangkan.P Parahnya angka nominal menentukan kuat tidaknya basis partisipasi dukungan.

Kualifikasi teknis dan politik menjadi syarat utama menentukan kader-kader yang akan terjun dalam kontestasi lima tahunan.  Masalahnya, dua syarat ini tidak difahami sebagai pijakan berpolitik.

Politik dan organisasi adalah satu kesatuan produk kebangsaan. Gerakan terorganisir melahirkan tokoh dari berbagai spesialisasi gerakannya, sebut saja Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Natsir dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka adalah tokoh sekaligus juga kader organisasi dengan ketokohannya masing-masing. Dalam situasi politik saat itu, basis nasionalisme menjadi poin penting dalam berpolitik.

Situasi genting pasca-kemerdekaan terus berlangsung hingga tragedi 1965/66 dan juga gerakan konfrontasi ganyang Malaysia. Kuatnya basis nasionalisme bangsa Indonesia mampu melewati segala tantangan yang ada.

Indonesia mulai memperlihatkan dirinya sebagai negara demokrasi kepada dunia dengan peran dan kiprahnya menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika pertama pada 1955 dan sepak terjangnya di Asia Tenggara melalui pembentukan organisasi ASEAN pada 1967.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun