Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Manakala "Mereka" Duduk di Kursi Goyang

5 Januari 2019   02:13 Diperbarui: 5 Januari 2019   02:29 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negeri ini punya segudang pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai, termasuk menjawab dinamika kehidupan manusia yang tidak pernah puas dengan hasil yang diraih. Dibalik itu, ada juga yang terjebak dengan sikapnya sendiri hingga bingung ingin berbuat apa dan akhirnya memilih bungkam. Rakyat hanya tau bagaimana mereka bekerja dengan baik tanpa berimbas ke isi dapur orang banyak. Realitas ini hanya melahirkan kelumpuhan dari sisi segala sisi kehidupan, terutama cita dan harapan besar.

Mengutip tulisan Soegeng Sarjadi (Jangan Biarkan Kesepian Melantur di Hati Rakyat: Bandung, 17 Oktober 1967), berangkali kejam jika kami menggunakan kata paralyzed terjemahannya adalah "lumpuh", untuk menyatakan kesan terhadap jalannya kehidupan bernegara, kehidupan politik, sosial, hukum, ekonomi dan lain-lain. 

Lumpuh karena sama sekali tidak terlihat kemajuan, tidak muncul antusiasitas dari rakyat untuk mengambil partisipasi dalam pembangunan negara. Andaikan rakyat yang hidup dimasa itu mau berfikir saat ini untuk masa akan datang, kelumpuhan yang dimaksud bisa jadi terulang kembali. Sama saja dan tidak ada bedanya.

Atau mungkin ada pandangan berbeda yang lebih tepat selain kata paralyzed untuk merunut langkah demi langkah menuju masa depan tentang konsistensi sosial, ekonomi, sampai tataran paling krusial hukum dan politik. Semuanya memang berjalan dan berproses, tapi setiap langkah ada godaaan pelanggaran, kuat atau tidak, besar atau kecil, bisa membuat suara-suara keputusasaan melengking merdu. 

Terjebak dalam godaan, pada prakteknya membagi rejeki untuk kebutuhan pribadi dan jaringan sama sekali bukan untuk berpresitasi membangun negeri. Godaan ini dilukiskan Pierre Bourdiau (1998) menurut konsepsi modal sosial, bahwa ada sumber daya yang tersedia  dan potensial dalam jaringan. Sumber daya ini hanya dimanfaatkan oleh anggota jaringan yang saling memberikan bantuan untuk anggota jaringan yang lain.

Menariknya, modal dalam konsepsi ini bisa dikoversi dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Tentu yang paling mudah di konversi adalah modal finansial, modal fisik, akan tetapi modal yang lain bisa dikonversi dalam bentuk yang lain bisa diubah menjadi modal finansial. Sama halnya dengan James Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial dalam tiga bentuk, kewajiban dan harapan, saluran informasi dan norma sosial. Ketiganya, seorang bisa saling percaya dan saling membangi rejeki sesuai ekspektasinya. Sulitnya, harus berada dalam lingkungan yang bisa dipercayai agar timbalik balik bisa terpenuhi.

Dalam konotasi negatif, modal sosial bisa saja dipergunakan untuk kejahatan. Tidak menutup kemungkinan sisi kehidupan politik dan hukum jadi amburadul dibuatnya. Salah satu contoh, korupsi selalu menggunakan konsep ini untuk tetap hidup lebih lama. Menurut Alejandro Portes (1998), karakter korupsi hampir mirip dengan mafia karena diantara pelakunya terbentuk jaringan dan saling bekerjasama, baik untuk membagi hasil korupsi atau memberikan perlindungan dan pembelaan.

Untuk melihat bagaimana korupsi bisa bertahan lama, kasus korupsi bisa jadi contoh menarik. Para penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jaksa dan kepolisian harus membuka mata lebar-lebar menilik jaringan korupsi. Karena korupsi biasanya melibatkan banyak orang dan setiap pelakunya berusaha saling menutupi dan saling melindungi. Mereka hidup dengan normanya sendiri. Bahkan, banyak terjadi para penegak hukum ternyata ikut andil sebagai tim utama merawat jaringan korupsi. Pertanyannya, penegak hukum yang terdoga oleh elit politik dan pengusaha  atau sebaliknya?

 Peran utama penegak hukum bermuara pada putusan tidak terbukti atau terbukti. Dibalik itu, melalui pintu belakang atau lobi sistmatik, penegak hukum ada yang tergoda dengan tawaran uang serta jaringan. Memainkan kasus korupsi lewat penyidikan hingga sidang bisa saja membuat seseorang tidak terbukti, atau ada yang harus dikorbankan agar pelaku tidak terjerat dalam jeruji besi. Akhirnya, memberantas korupsi hanya sekadar bagaimana penegak hukum bisa keluar dari jaringan yang menjeratnya. 

 Di media-media diberitakan banyaknya OTT korupsi, mulai legislatif hingga eksekutif. Tapi rakyat tidak sadar, bahwa dibalik itu sebenarnya penegak hukum ada yang sedang duduk dikursi goyang. Duduk santai menikmati hasil bagi-bagi rejeki menyampingkan keberanan yang seharusya diperjuangkan. Secara esensi, bergerak-gerak tapi gerakannya tidak menuju kemana-mana, dengan kata lain tidak ada kemajuan.

Gejala seperti ini kelihatannya sudah terbaca sebagian raykat. Mereka lupa bahwa perlahan tapi pasti, realitas yang dipertontonkan menunjukkan betapa hukum masih mudah dimasuki. Tidak sedikit pelaku korupsi dibebaskan, tidak terbukti bersalah, dan ada yang benar-benar tidak terbukti tapi dinyatakan bersalah. Memang, manakalah penegak hukum duduk dikursi goyang, hukum jadi lumpuh total.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun