Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tiga Tahun dan Penyakit Masuk Angin

24 September 2017   15:54 Diperbarui: 25 September 2017   03:51 1576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Partai Politik. Sumber: suara-islam.com

Setelah kita melihat aksi  para kreator, kenyataan menunjukkan kita masih jauh dari harapan, rakyat melihat dengan penuh kecemasan bahwa mereka telah membawa negeri ini pada keadan yang amat mengkhawatirkan. Perlahan tapi pasti, mereka mulai tidak memikirkan isi perut rakyat banyak, tapi lebih senang foto sembari tersenyum manis menampakkan wajahnya dalam koran ataupun media lainnya beserta doa-doa yang menurutnya mustajab.   

Cara-cara mereka tidak hanya bertentangan dengan asas-asas demokrasi, tapi lebih kepada mempermainkan hingga memperkosanya dengan mengatasnamakan demokrasi. Sudah jelas bagi kita, istilah demokrasi yang dipakai hanyalah topeng belaka yang justru menjatuhkan lawan demi melanggengkan posisinya.

Di negeri yang kaya ini, tidak demikian hanya kaya dari segi alam dan sumber daya manusia, melainkan juga kaya akan pendangan dan pemikiran hingga melahirkan berbagi versi tentang demokrasi. Akhir kata, tibalah saatnya para patriot (pemuda) turun tangan menyatakan tidak atas mereka yang telah masuk angin.   

Perbincangan paling mengkhawatirkan, ketika hal yang paling fundamental menjadi soal. Demikian dalam rilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016 menunjukkan angka yang terus menurun dalam kurun tiga tahun terakhir, membeberkan kabar buruk tentang kualitas demokrasi di Indonesia.

Pada tahun 2014, IDI merilis demokrasi Indonesia hanya mampu mencapai angka 73,04. Tahun berikutnya, 2015 kembali menurun diangka 72,82. Lebih parah lagi, di tahun 2016 masih menunjukkan angka penurunan demokrasi pada angka 70,09. Pada dasarnya, skala indeks demokrasi diangka 0-60 tergolong demokrasi buruk. kemudian skala indeks 60-80, demokrasi masih tergolong sedang. Sementara demokrasi untuk skala indeks 80-100 tergolong baik.  

Kendati demikian, dengan angka saat ini, tidak semerta-merta dikatakan baik-baik saja. Untuk Indonesia salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, semestinya memberikan edukasi demokrasi dengan angka diatas 80 -- 100. Namun, saat ini, demokrasi indonesia berstatus darurat demokrasi.

Kalau saja kondisi terus-terusan begini, dimungkinkan demokrasi di masa depan akan tamat. Cita-cita demokrasi pasca runtuhnya Orde Baru, sekadar cita-cita. Ironisnya, kondisi ini belum disadari secara penuh sebagian politisi dan partai politik sebagai unsur penting terwujudnya demokrasi di Indonesia.

Masih Kurang Konsisten

Hasil IDI tahun 2016, partai politik belum mampu memberikan efek demokrasi. Peran parpol hari ini, hanya bisa memberikan efek demokrasi sekitar 52,29 dari sebelumnya 6,8 poin. Mengikut pula peran pemerintah daerah yang sebelumnya 5,6 poin, malah menurun diangka  47,51 poin. Kedua variabel ini dinilai jadi penyebab buruknya demokrasi. Sementara untuk indeks kebebasan berserikat dan berkumpul mengalami kenaikan 82,79 dari sebelumnya 3,86 poin.     

Munculnya angka ini, tentu tanpa asalan. Penulis menganalisa, ada beberapa faktor yang menyebabkan buruknya demokrasi di Indonesia. Pertama, berkembangnya partai kartel membuat sebagian partai tidak lagi memikirkan bagaimana mewujudkan demokrasi. Dikiranya, dengan politik kartel, demokrasi bisa terwujud seperti harapan rakyat banyak. Sekalipun itu terwujud, demokrasi tidak berbasis kerakyatan, tapi lebih merujuk pada demokrasi kapital. Sementara dalam pemahaman kaum marxis, kapitlisme tidak mungkin sosial atau dengan kata lain tidak bisa demokrasi.

Kedua, minimnya peranan partai sebagai wadah kaderisasi tidak memberikan ruang para kaum muda berdiri diatas panggung politik. Sekalipun ada, mereka sudah melalui tahap negosiasi dengan tolak ukur finansial yang kuat. Tapi lagi-lagi, untuk membentuk karakter politisi, tidak menghendaki kekuatan finansial. Ini bisa saja menjadikan mereka lebih praktis dari yang praktis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun