Mohon tunggu...
Cerpen

Hujan Melodi

19 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 20 Maret 2017   16:00 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Melodi, jika kita mendengar kata ini pasti akan terbayang deretan nada yang membentuk suatu irama yang tersusun rapi. Tapi bukan untuk yang satu ini, dia adalah alasanku untuk hidup. Benar, Melodi adalah nama seorang perempuan yang telah menjadi temanku sejak kecil. Dia selalu menemaniku setelah perginya kedua orang tuaku di sebuah kecelakaan saat aku masih berumur tujuh tahun. Wanita yang seumuran denganku ini tinggal bersama kedua orang tuanya, pak Oktarian dan bu Febby. Sayangnya, kedua orang tua Melodi meninggal saat ia duduk di bangku SMA tiga tahun silam. Sekarang aku yang akan bertanggung jawab penuh atas dirinya.” Tulisku di buku harian sembari menunggu Melodi yang sedang piket kelas.

“Dan, sudah selesai. Ayo jalan pulang.” Melodi keluar dari kelasnya dengan tangan yang kotor bekas tinta.

Waktu terasa berhenti, angin berhembus semilir, daun berterbangan melewati arah pandangku ke Melodi saat aku memandangnya. Serasa seperti dalam sinetron.

“Baiklah” balasku sembari menutup buku harianku. “Lama sekali kau piketnya? Sampai berlumut aku menunggu.”

“Hihi, sudah ayo jalan, keburu hujan” Ia mengangkat tas berwarna hitam dengan garis putih melingkari setiap jahitan tasnya. “Banyak bicara kamu ya.” Tangan bekas tintanya dioleskan ke wajah dan merucut di ujung mulutku sampai ada banyak bekas tinta memenuhi wajahku.

“Hei!! Asem lah!!” ujarku setelah menerima tinta dari tangannya. “Nih balasan dariku.” Aku memegang tangannya dan aku balas ke wajahnya sembari bercanda dan tertawa.

Inilah kehidupanku, kehidupan seorang mahasiswa yatim piatu yang hidup sebatang kara. Semenjak kedua orang tuaku meninggal, Melodi sering menemaniku menjalani aktivitasku sehari-hari. Biaya makan dan lain-lain aku dapat dari hasil memenangkan lomba musik instrumen biola. Walau terkadang orang tua Melodi juga menyedekahkan beberapa hartanya untukku. Semenjak orang tua Melodi meninggal, kami benar-benar dituntut untuk hidup mandiri.

Namaku Dana, aku bukanlah orang yang suka banyak bergaul, sama seperti Melodi. Aku hampir tidak memiliki teman, hanya Melodi menurutku. Bukan karena aku anak pendiam atau apapun, tapi karena aku takut kehilangan mereka. Aku sudah cukup merasakan kehilangan yang mendalam, terutama kedua orang tuaku dan kedua orang tua Melodi yang juga mengasuhku. Dari semua yang ada di dunia ini, hanya Melodi dan biola sepeninggal ayahlah yang menemani keseharianku. Bicara soal biola, aku adalah seorang pemain biola. Alat musik warisan dari ayah ini membuatku penasaran untuk memainkannya, sehingga aku mempelajarinya saat aku masih berumur tujuh tahun. Sudah banyak piagam, medali, dan piala yang aku dapatkan dari kejuaraan alat musik. Bukan bermaksud sombong, tapi semuanya aku mendapat juara satu.

Malam telah tiba, malam ini adalah malam minggu. Waktu yang pas untuk beristirahat dan berhenti memikirkan tugas kampus yang tiada jedanya.

“Besok adalah hari minggu, apa sebaiknya aku jalan-jalan ya?” kataku setelah meneguk segelas air putih.

“Kring, kring, kring.” Terdengar suara nada pesan keluar di handphoneku. Tertulis di situ “Melodi”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun