Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ulik-ulik Film 7 Hari 24 Jam (Jangan Baca Kalo Belum Nonton!)

7 Desember 2014   08:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52 8641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_339973" align="aligncenter" width="456" caption="Poster "][/caption]

"The good foundation of everything is a good family." Kata mutiara itu yang muncul di akhir film 7 Hari 24 Jam yang juga diutarakan oleh salah satu karakter utamanya, Tania, kepada suaminya, Tyo. Mungkin kalimat itu, di antara kalimat atau line lain, yang paling menempel dan menjadi garis bawah film berdurasi satu setengah jam ini. Bahwa untuk bisa memiliki karir atau melakukan sesuatu dengan baik, kita bisa melihat bagaimana hubungan kita dengan keluarga kita sendiri. Kalau boleh main rating-rating-an, saya ingin memberikan film besutan sutradara Fajar Nugros ini 3 bintang. Terlalu sedikit? Yaah, siapa saja boleh menilai berapa saja, kan? Hehehe. Tapi kenapa 3 bintang? Hayuk disimak!

Kadang, ekspektasi terlalu berlebihan itu bisa berbahaya juga ya. Iya nggak, sih? Soalnya, sebelum saya memutuskan untuk akhirnya nonton film ini, saya udah berharap banget kalo filmnya bakal ciamik. Gimana nggak? Ngeliat nama yang dipajang di posternya aja udah Dian Sastrowardoyo dan Lukman Sardi. Jelas saja, beberapa dari penonton, saya yakin, pasti juga berharap tinggi karena saya sendiri kangen sama kemampuan aktingnya Dian. Film yang terakhir saya tonton di mana ada Dian sebagai pemerannya itu ya film pendek Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 yang di-promote Line. Meskipun itu bukan film panjang, tapi ya setidaknya wajah kemayu khas Jawa mbak Dian bisa dinikmati lagi. Hehehe. Sementara itu, kalo film terakhir Lukman Sardi yang saya tonton, dan menurut saya hasil karya terbaiknya Lukman, itu Rectoverso. Selebihnya, udah deh, namanya di kancah perfilman Indonesia mulai gak keliatan, sampe film 7 Hari 24 Jam ini tayang.

Saya gak akan membahas film ini tentang apa, tapi saya akan mencoba menggali kelebihan dan kekurangan film ini di beberapa aspek, seperti plot, karakterisasi, pemain, bahasa, dan (sedikit) isu teknis.

Plot yang "Tertib"

Secara keseluruhan, jalan cerita film ini bergerak maju dan kronologis. Penonton tidak disuguhkan dengan alur yang maju-mundur untuk memutar-mutar narasi dan memusingkan cerita film itu sendiri. Hanya bagian kecil dari film saja yang menggunakan teknik flashback, yaitu saat adegan paling pertama, di mana Tyo (diperankan oleh Lukman Sardi) sedang berbaring dengan mata kuyu di sebuah rumah sakit, dan dokter yang sedang memeriksanya bertanya padanya apa yang dilakukannya selama 24 jam terakhir. Hampir tanpa transisi yang kentara, narasi langsung berpindah ke adegan 24 jam sebelumnya. Awalnya mungkin penonton bisa kurang jeli karena masih fokus dengan peristiwa yang "tiba-tiba terjadi" di adegan sebelumnya. (Atau bisa jadi kurang jeli karena terdistraksi oleh wajah Dian. Hehehe.)

[caption id="attachment_339974" align="aligncenter" width="650" caption="Ekspresi Tania saat mendengar suaminya mengatakan, "]

1417891669150717662
1417891669150717662
[/caption]

Namun begitu, setelah adegan flashback itu, penonton bisa mengikuti arus cerita dengan sangat baik. Setiap kali ada penanda hari, layar menampilkan "Hari ke 1", "Hari ke 2" hingga hari ke-7. Penanda ini bisa menjadi penting dalam keberlangsungan narasi karena, jika diperhatikan, ketika satu hari berganti ke hari selanjutnya, peristiwa yang terjadi pada dua tokoh utama bisa menjadi tak terduga bahkan mengejutkan penonton. Seperti pada hari ke-5 (atau ke-6?), di mana Tania (Dian Sastrowardoyo) sedang melakukan teleconference dengan Pak Harris, atasannya, (Ari Wibowo) dan investor dari bank tertentu, yang pada saat bersamaan suaminya di kasur sebelahnya sedang mengulet, sehingga bagian (maaf) pantatnya tertangkap kamera dan terlihat oleh orang-orang di kantornya. Hal ini membuat investor geram dan menganggap "buang-buang waktu". Keesokan harinya, Tania tak mau bicara sama sekali dengan suaminya. Hal ini, bisa dibilang, cukup mengejutkan penonton karena ekspektansi yang muncul sebelumnya adalah Tania tidak akan seemosional itu.

Karakterisasi

Dalam masalah penokohan, film ini berhasil mengatur pembagian peran yang proporsional untuk membangun isu-isu yang terjadi dalam cerita. Tyo dan Tania digambarkan sebagai sepasang suami istri yang sejoli, perhatian dan suportif kepada satu sama lain. Menurut saya, ide bahwa Fajar Nugros me'nyatukan' mereka dengan membuat mereka 'sakit' merupakan konsep yang brilian. Sebagai orang karir yang memegang posisi krusial, masing-masing karakter tersebut meskipun workaholic tetapi tetap sangat concern terhadap keluarganya, khususnya anak mereka, Ayla. Saat mereka berdua sakit, perasaan-perasaan yang "terpendam" saat mereka sibuk di lokasi syuting (Tyo) atau di kantor (Tania) mulai terungkap, karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua di rumah sakit, di ruangan yang sama pula. Ditambah lagi, dengan menyuguhkan penonton fakta bahwa kedua karakter harus "istirahat total," seolah film ini ingin memberikan wejangan sekaligus sindiran kepada orang-orang metropolitan yang terkadang bekerja seperti maniak dan cenderung menganggap remeh hal-hal yang kecil seperti "sarapan," "minum air putih," atau "menelepon orangtua."

Tidak hanya itu, karakter "pasangan dokter" dalam film ini, di mana satu dokter senior (Hengki Solaeman) dan yang satu lagi junior (Verdi Solaeman), kurang lebih menjadi penegas dari kedua karakter utamanya. Gimana bisa? Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya bahwa Tyo dan Tania adalah pasangan sejoli: terlihat dari bagaimana masing-masing mulai khawatir ketika melihat satu sama lain bertambah parah sakitnya, khususnya cukup kentara ketika Tania cemburu saat Mila menjenguk suaminya. Nah, kehadiran kedua dokter ini seolah menjadi bumbu penguat kisah cinta mereka. Si dokter senior digambarkan agak "linglung" dan selalu "speechless" untuk mengekspresikan ketidakpercayaannya terhadap suatu hal. Sementara itu, si dokter junior digambarkan percaya diri dan lebih ingin dilihat atau diakui kemampuannya oleh si dokter seniornya. Sifat speechless (sulit berkata-kata) si dokter senior bisa ditutup dengan karakter confident-nya si dokter junior. Dan ini mempertegas bahwa Tya dan Tania juga, kendati kadang bertentangan, tapi saling melengkapi satu sama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun