Mohon tunggu...
Rachmawan Deddy
Rachmawan Deddy Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Sarjana Pertanian yang berladang kata-kata. Penulis buku Jejak PKI di Tanah Jambi dan Jejak Sejarah Lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dua Wajah Sultan dan Semangat Pemuda

7 November 2012   16:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:47 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah kebetulan sejarah bagi bangsa ini. Bahwa, Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, waktunya relatif berdekatan. Maklum saja, pemuda sejatinya amat lekat dengan semangat heroik dan perubahan. Karenanya tak heran, Bung Karno berujar, berikan ia sepuluh pemuda agar ia ubah dunia. Pahlawan dan pemuda. Keduanya itulah yang ada pada sosok Sultan Thaha. Siapa pula itu Sultan Thaha? Memang namanya tak sepopuler Cut Nyak Dien dari Aceh, atau barangkali tak sefamiliar Sultan Mahmud Badarudin yang gambar (reka) wajahnya menghiasi uang pecahan Rp 10 ribu. Padahal keduanya, memiliki gelar yang sama, Sultan! Memang, kesultanan Jambi relatif kecil dan tidak penting pada abad kesembilan belas. Karenanya tak heran sejarawan kolonial generasi awal menyebut adalah nyaris suatu kebetulan bila Belanda “hadir” di Jambi pada 1830-an. Namun kini, faktanya adalah Sultan Thaha merupakan pahlawan nasional dari Provinsi Jambi. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No.079/TK/Tahun 1977, tertanggal 24 Oktober 1977. Dua wajah [caption id="attachment_215277" align="alignleft" width="300" caption="Reka wajah Sultan Thaha yang saya dapati di buku Delapan Raja-raja Pahlawan Nasional. Gambar ini saya foto dari buku Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial "][/caption] Ini soal rekonstruksi wajah sang Sultan. Masalah yang juga “menimpa” deretan nama pahlawan di Nusantara. Bila ada (reka) wajah Sultan Thaha yang terpopuler, itu adalah sosok yang pecinya dililit surban. Dengan tipikal wajah bukan petak, sepasang alis datar menghias. Kumisnya tipis. Itulah rekonstruksi wajah Sultan Thaha. Reka itu termuat di buku Delapan Raja-raja Pahlawan Nasional yang diterbitkan pada 1981. Semasa SD dulu, saya akrab menjumpainya di ruang kelas. Kini, gambar itu sepertinya nyaris susah didapati. Sultan Thaha kini justru di-make over. Sang Sultan pun akhirnya memiliki “wajah baru”. Malah, wajah baru itu diabadikan menjadi patung  setidaknya di dua tempat berbeda. Pertama patung wajahnya di Bandara Sultan Thaha, kedua patungnya dengan sebilah keris menjulang di halaman kantor Gubernur Jambi. [caption id="attachment_215278" align="alignleft" width="300" caption="Patung Sultan Thaha di depan kantor Gubernur Jambi. sumber: sts-pahlawannasionaljambi.blogspot.com"]

1352305720392288229
1352305720392288229
[/caption] Wajah yang kedua ini, mengesankan sang Sultan lebih gagah dan tegas. Kepalanya diikat dengan kain sejenis udeng. Itu soal wajah. Perbedaan juga terdapat pada penulisan nama pahlawan dari Jambi ini. Untuk Bandara misalnya, bandara di ibukota provinsi ini hanya memakai nama Sultan Thaha. Sedangkan perguruan tinggi agama yakni IAIN memakai, Sulthan Thaha Saifuddin. Malah, sejarawan Belanda Elsbeth Locher-Scholten  dalam Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial  menulis raja kesultanan Jambi itu menjadi Sultan Taha Safiuddin. Perjuangan Sedari Muda Usia Sultan Thaha masih belia ketika dinobatkan sebagai sultan. Ada yang menyebutnya lahir pada 1833 dan menjadi sultan diusia muda, yakni 22 tahun. Thaha menjadi sultan Jambi pada Oktober 1855 setelah sultan sebelumnya Sultan Nazaruddin wafat. Mengenai tahun kelahiran (1883), saya memilih mengikuti Scholten,kendati ada yang menyebut Sultan Thaha lahir pada 1816. Dalam catatan kaki bukunya, akademisi dari Belanda ini mendasarkan tahun kelahiran Thaha di antaranya pada  Laporan saran Dewan Hindia Timur Belanda, 29 Januari 1858. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Fachruddin, Sultan Thaha justru memperlihatkan perlawanan secara frontal kepada Belanda. Pada 1834, ayahnya menandatangani kontrak kerjasama dengan Belanda. Adapun Thaha, sebagaimana disebut Scholten, justru memakai taktik mengelak dan menghindar kontrak.  Thaha bahkan menolak semua pasal yang membatasi kekuasaan sultan. Junaidi T Noor, sejarawan dari Jambi menyebut Thaha berpantang berhadapan muka dengan Belanda. Residen Palembang, PF Laging Tobias pada 1881 mendeskripsikan Thaha sebagai orang yang energik lagi bertempramen panas. Ia diluar “kebiasaan” Jambi yang lamban. Karenanyalah Sultan Thaha adalah musuh utama kolonial Belanda ketika itu, walaupun secara formal kekuasaan Thaha berakhir pada 1858. Tapi kurang lebih 40 tahun ia berjuang di belakang layar sebelum akhirnya mangkat pada April 1904. Sebagai sultan muda, dalam melawan Belanda ternyata Sultan Thaha mencoba membuka jejaring ke sultan Turki. Sebuah terobosan yang boleh jadi belum dicoba oleh para pendahulunya. Ibu Sultan Thaha yang keturunan Arab menurut Scholten memberi andil soal keputusan sultan muda ini untuk meminta dukungan diplomatik dari kesultanan Turki. Langkah ini, pada 1873 diikuti pula oleh kesultanan Aceh. Lantas apa reaksi Turki? “Pihak penerima bersikap seolah-olah surat itu tidak pernah ditulis.” Demikian Scholten. Toh, boleh saja Scholten berpendapat demikian. Namun saya teringat ketika menulis tentang koleksi museum negeri Jambi (Kini Museum Siginjei), beberapa tahun lalu. Di sanalah ada koleksi yang dinamakan kalung bintang kerjora. Kalung dengan bentuk menyerupai matahari terbit dengan pancaran sinarnya itu disebut sebagai hadiah dari Khalifah Ustmani di Turki untuk Sultan Thaha yang mengirim utusan untuk meminta bantuan ke Turki. Dua wajah, perbedaan tahun kelahiran Sultan Thaha, “polemik” repson Turki atas permintaan Thaha, adalah bagian dari perdebatan sejarah. Mereka yang menuliskan sejarah tersebut tentu telah melengkapi bukti atas hipotesa yang dibangun. Apapun itu, sejarah para pahlawan di nusantara harus jadi ingatan kolektif untuk kemudian dijaga dan ditauladani. Selamat Hari Pahlawan. Renungilah kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun