"Apakah kamu mengerti tentang kecerdasan dan mentalitas?”
Kalau saja Junai cepat merespons, tentu ia bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan Ayahnya tadi malam. Pertanyaan itu membekas di pikiran Junai hingga berhari-hari. Ia diberi pertanyaan sederhana, namun sukar untuk diuraikan dengan cepat.
Mudah baginya kalau hanya menjawab itu sebatas definisi. Tapi ia tahu bahwa ada sisi lain diluar definisi kecerdasan dan mentalitas yang dimaksud Ayahnya. Karena, seperti biasanya sang Ayah selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan yang filosofis. Pertanyaan yang merangsang akal, menuntunnya pada arah rasionalitas.
“Sudah berapa buku yang kamu baca selama kamu sekolah?” tanya Ayah tiba-tiba dengan mendekati Junai yang sedang membaca buku.
Junai terkejut mendengar pertanyaan sang Ayah. “Nggak tau, Yah. Rata-rata buku yang ada di rak udah aku baca semua” jawab Junai polos.
“Apa yang kamu dapatkan dari buku-buku yang sudah kamu baca?” tanya Ayah lagi. “Pengetahuan dan wawasan, Yah” jawab Junai gugup.
“Apakah semua pengetahuan dan wawasan yang kamu kuasai hanya berhenti pada pikiranmu saja? Apakah kamu tidak berpikir lebih jauh? Berapa banyak waktu yang kamu habiskan hanya dengan mengumpani otakmu sendiri? Apakah kamu tidak menyadari, waktu yang kamu habiskan di rumah untuk membaca buku berbanding jauh ketimbang berinteraksi dengan orang-orang di luar sana?” pertanyaan Ayah kian kompleks.
Junai hanya diam, dan masih berpikir apa maksud dari semua pertanyaan Ayahnya ini.
Ayah kembali mengajukan pertanyaan. “Apakah kamu tidak sadar, pengetahuan yang kamu punya itu membutuhkan pertentangan logika? Apakah tidak perlu masukan dan ide? Apakah hidupmu cukup hanya dengan bekal kecerdasan saja?” pertanyaan Ayah semakin lengkap.
Tanpa menjawab, Junai malah bertanya balik, “Apa yang salah dari cara belajar Junai, Yah?”
Ayah mulai menjelaskan maksudnya, “Junai, kecerdasan tak akan mampu berdiri sendiri. Kecerdasan harus dipadukan dengan mentalitas. Begitu juga dengan mentalitas, tak lengkap tanpa kecerdasan...."