Mohon tunggu...
Politik

Cara Licik Koruptor e-KTP Melepaskan Diri Dari Jerat Hukum

26 April 2017   19:33 Diperbarui: 8 Mei 2017   18:42 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://m.tempo.co/read/news/2016/01/08/063734283/

Entah sejak kapan pola seperti ini bermula, tapi setiap kali ada kasus yang menyedot perhatian besar dan mengarah pada orang-orang besar, di negeri ini, kemudian dimunculkan sebuah logika yang seakan-akan itu adalah agenda politik dari lawannya. Si A, yang digadang-gadang kuat akan terjerat kasus korupsi, entah dengan cara bagaimana, ia kemudian menjadikan Si B sebagai tertuduh yang sedang bermain dengan cara-cara politik. Sehingga unsur politisnya menjadi lebih dominan. Padahal, hukum adalah hukum. Istilah “kriminalisasi” kemudian menjadi begitu menarik di negeri ini.

Saat ini, pengusutan KPK terhadap skandal korupsi E-KTP yang merugikan negara 2,3 Triliun (cukup untuk membanjirkan Jawa dengan Es Cendol) sedang berjalan. Ada beberapa yang sudah tersangka, dan akan menjadi tersangka. Salah satunya adalah Setya Novanto, Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, yang diduga kuat ikut bermain dalam bagi-bagi duit bancakanproyek E-KTP. Bahkan, ia sudah dicekal untuk bepergian ke luar negeri selama 6 bulan ke depan. Setya Novanto, sebenarnya tak terlalu mengejutkan ketika diduga terlibat dalam kasus itu, mengingat track recordnya yang “mencurigakan” meski selalu lolos.

Entah bagaimana cara dan tujuannya, kasus itu kemudian ingin dijadikan bancakanpolitik dengan menciptakan isu, bahwa Setyo Novanto memang “sengaja” diincar dan ingin dilengserkan oleh pihak tertentu. Aneh dan “gilanya”, pihak itu adalah Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden sekaligus mantan Ketua Umum Golkar dan masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam tubuh partai berlambang beringin tersebut. Wapres, senior, dan tokoh sekelas JK diversuskan dengan Setya Novanto, yang track recordperjalanan hidup dan karir politiknya dipenuhi informasi yang “miring”.

Kenapa JK? Bagaimana logika yang dibangun? Begini, JK (dengan usia sesepuh itu) dianggap masih mempunyai hasrat untuk menjadi Presiden. Sangat mengecewakan ketika Golkar (yang dipimpin oleh Setya Novanto) sudah memastikan untuk mengusung Jokowi pada 2019 mendatang. JK dianggap ingin menguasai Golkar kembali, karena melalui Golkar-lah kendaraan politik yang paling realistis. Sangkaan yang serampanganitu, didukung dengan sikap JK terhadap Setya Novanto yang tegas dan tanpa basa-basi.

Dalam beberapa kesempatan JK menunjukkan kekecewaannya terhadap Setya Novanto, dan pernah menegurnya secara langsung dalam kasus Kasus #Papa Minta Saham. JK adalah orang yang tidak ingin Golkar dipimpin oleh orang yang mempunyai cacat masa lalu, terutama terindikasi dalam kasus-kasus koruptif. JK pernah mengatakan bahwa Setya Novanto “hilang”. Bahkan terkait sikapnya dalam kasus korupsi E-KTP ini, JK secara tegas mendukung KPK. Kalau KPK melakukan pencekalan, tentu sudah ada bukti yang kuat. Kalau Setya Novanto tersangka, banyak yang bisa menggantikannya, dan tidak berpengaruh pada negara. Termasuk statementJK agar Partai Golkar melakukan Munas kalau ternyata benar Setya Novanto menjadi tersangka. StatementJK dianggap banyak pihak, terutama pendukung Setya Novanto, sebagai penyulut api di kubu Partai Golkar.

Itu semua kemudian dirangkau sedemikian rupa menjadi sebentuk opini yang masuk akal, meski harus dipaksakan. Menegasikan JK sebagai sosok yang paling berkepentingan dengan lengsernya Setya Novanto. JK menjadi tertuduh, dengan cara-cara yang mereka buat dan analisa sendiri, lalu dianggap sebagai realitas dan kebenaran.

Apa yang ingin dicapai? Tentu untuk mempertentangkan JK dengan Jokowi. Memanaskan suasana istana sehingga politik akan bergejolak, dan kasus korupsi E-KTP kemudian seperti lenyap, atau bergerak tanpa arah dan sasaran. Golkar, yang secara pasti menyatakan komitmennya untuk mendukung Jokowi, berharap ada keberpihakan. Bahkan kemudian, ada isu yang berkembang, bahwa keinginan Presiden Jokowi untuk melakukan reshuffleadalah bagian untuk membuang menteri-menteri yang mempunyai kedekatan dengan JK.

Artinya, kita bisa membaca bahwa ini adalah permainan kotor dari para koruptor yang diduga kuat terlibat dalam kasus E-KTP. Setya Novanto Cs mulai panik dan mempergunakan cara-cara licik untuk mengadu domba mempergunakan isu politik. Dengan adanya permainan politik ini, sudah terbukti para koruptor gerbong Setya Novanto berniat untuk memanfaatkan situasi supaya bisa lepas dari jeratan hukum, dengan membangun opini seolah olah pengungkapan kasus E-KTP adalah permainan politik. Ini upaya politisasi yg dilakukan oleh gerombolan koruptor E-KTP.                       

Padahal semua orang tahu, bahwa masalah Partai Golkar muncul sebagai akibat dari keterlibatan Setya Novanto dalam mega korupsi E-KTP yang memang sudah lama diincar oleh KPK. Bukan hanya itu, masa lalu Setya Novanto juga menjadi bagian dari friksi yang muncul di internal partai tersebut. Kalau kemudian JK, dalan posisinya sebagai Wakil Presiden memberikan dukungan penuh terhadap KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi yang menggarong uang negara triliunan, maka itu adalah hal yang wajar karena JK tidak dalam posisi melakukan intervensi. Kalau JK memberikan statementyang agakkeras terhadap Setya Novanto, karena memang ia dalam posisi yang tak bisa dianggap benar.

Inilah yang paling penting, bahwa KPK tidak serendah itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. KPK melakukan tugas dan fungsinya berdasarkan landasan hukum dan bukti yang kuat. Sehingga ketika ada seseorang yang sedang bermasalah secara hukum, maka hukumlah yang harus menyelesaikannya. Jika terhadap KPK saja kita sudah apatis, lalu kepada siapa lagi kita berharap? Anehnya, setiap menangani kasus-kasus besar, KPK terkesan selalu “dikasuskan” (menghadapi hak angket), atau dikait-kaitkan dengan pihak yang sejatinya tidak berkaitan.

Artinya, ada upaya untuk membangun opini menyesatkan yang dilakukan oleh gerombolan koruptor E-KTP. Opini tersebut dibangun untuk menciptakan kegaduhan secara politik. Sebagai orang awam, kita akhirnya curiga, bahwa jangan-jangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan juga bagian dari kerja-kerja kotor, licik, licin, dan keji mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun