Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bekayat, Tembang Suka Duka Warisan Islam Sasak

14 Januari 2014   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389682688917230174

[caption id="attachment_315718" align="alignleft" width="300" caption="Amaq Mastu (kanan) bersama penerjemahnya, Sarafudin. (dok,pribadi)"][/caption] Tembang indah nan khas itu bercerita tentang banyak hal, tentang sukacita hingga catatan kematian. Masyarakat Islam Sasak telah mengenal tradisi Bekayat ( membaca hikayat) sejak kerajaan Hindhu-Budha berkuasa. Hingga kinipun tradisi ini masih lestari.

Masyarakat Lombok yang mayoritas Muslim lebih mengenal tradisi membaca hikayat dengan istilah memace atau bekayat yang secara bahasa berarti membaca dan berkisah.Bekayat adalah tradisi membaca kitab-kitab kuno berbahasa sanskerta diatas daun lontar pada acara-acara tertentu seperti perayaan maulid nabi, tradisi sunatan, ngurisan, perkawinan hingga kematian.Kitab-kitab kuno tersebut dibaca oleh seorang pembaca dengan alunan nada yang khas, dan diterjemahkan olah seorang lainnya. Isi kitab biasanya bercerita tentang perjalanan spiritual nabi, perisitiwa masuknya Islam di Lombok, termasuk pula pesan-pesan kehidupan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup bersama manusia lainnya. Bekayat dilakukan sejak malam hingga pagi hari.

“Tradisi ini sudah ada sejak kerajaan Hindhu berkuasa. Dahulunya tradisi ini dilakukan sebagai alat mengajak orang masuk islam. Teknik membacanya sangat dipengaruhi oleh unsur Hindhu,” ungkap Amaq Mastur, (54), pembaca asal Dusun Proa, Desa Kebun Ayu, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, saat ditemui belum lama ini.

Beberapa kitab yang biasanya dibaca adalah Hikayat Nur, Yatim Mustafa dan Badaruzzaman untuk acara ngurisan (potong rambut bayi), Maulidan sunatan dan perkawinan. Kitab Kifayatul Muhtaj dibaca saat ritual Isra’ Mi’raj (naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima perintah Sholat). Ada pula Kitab Qurtubi Kasyful Gaibiyyah yang isinya seputar hakikat kematian serta bagaimana manusia seharusnya mati. Kitab yang paling populer adalah Jati Swara karangan seorang wali bernama Syeikh Abdussamad dan bercerita tentang proses berkembangnya Islam di nusantara.

Seorang pembaca hikayat dituntut menguasai teknik nembang sebagai ciri khas tradisi ini. Ada beberapa istilah nada khas yang dipilih diantaranya dangdang (nada khas asal Jawa), Sinom (Bali), Pangkur, Budaya dan Kumambang (Lombok). Untuk menjamin suara bisa stabil hingga semalam suntuk, pembaca mengamalkan jampi-jampian. Sebagai bagian dari tradisidan adat budaya, bekayat juga mengharuskan adanya kemalik (semacam ikat pinggang berbahan benang), beras kuning, air bunga, benang warna hitam dan putih yang ditaruh diatas wadah yang dinamakan rereke. Di atas mereka membaca terdapat kain hitam yang dibentangkan diantara kain putih. Maknanya, sebersih dan sesuci apapun manusia, pasti terdapat noda dan kesalahan dalam diri yang harus dibersihkan dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagian dari prasyarat itu kini sudah banyak yang hilang. Dahulu, pembaca biasanya disuguhkan air nira yang memabukkan. Sekali lagi ini adalah faktor sejarah. Banyak dari unsur-unsur Hindhu terpaksa dipakai agar inti ajaran bekayat lebih bisa diterima oleh masyarakat pada zaman itu.

Tradisi bekayat hingga kini masih tetap lestari. Berbeda dengan tradisi-tradisi lain yang kian hilang karena tergerus zaman, bekayat tetap ada karena peran pembacanya. Dalam satu kampung bisa terdapat 4 hingga 5 pembaca yang masih aktif. Mereka terdorong oleh niat melestarikan tradisi leluhur meski tidak mendapatkan imbalan material yang cukup.

Amaq Mastur (54) misalnya, laki-laki petani ini menjadi pembaca hikayat sejak masih muda puluhan tahun silam. Kemahirannya didapat dari seorang guru bernama Amaq Dimah yang sudah meninggal. Saat penulis menemuinya, Amaq Mastur tengah mengajarkan ilmu bekayat kepada dua orang muridnya masing-masing bernama Kamil dan Jamilah.

Dalam satu bulan, Amaq Mastur diundang membaca di tiga hingga lima tempat. Ia bersama penerjemah setianya, Sarafuddin, selalu siap menerima undangan di tempat-tempat jauh sekalipun. Pada bulan maulid dan Mi’raj, jadwalnya bisa hampir setiap malam.

“ Saya ikhlas menjalaninya. Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi,” ungkapnya.

Amaq Mastur menitipkan pesan kepada generasi muda untuk tetap melestarikan tradisi-tradisi semacam ini. Bekayat adalah satu dari sekian budaya tutur dan dongeng yang masih ada hingga kini.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun