Mohon tunggu...
Oom Somara De Uci
Oom Somara De Uci Mohon Tunggu... Seniman - Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pegiat Seni dan Budaya. Sepakbola, jalan-jalan, baca dan ngariung jadi hobi. Tinggal di Pustaka Kemucen, Aryakamuning 19 RAJAGALUH - MAJALENGKA. 45472

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istri Bosku Jatuh Cinta Padaku (cermin Kisah Nyata)

27 Desember 2012   06:17 Diperbarui: 4 April 2017   18:28 258896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth



Aku dibesarkan dalam keluarga yang biasa-biasa saja. Biasa dalam segala hal; ya pendidikan, ya materi ekonomi. Aku sebenarnya tidak berkecil hati, karena tetangga di sekitarku juga begitu. Tamat SD ya syukur, tidak tamat juga syukuran. Syukuran dalam arti pernah mengecap sekolah. Jadi kalau aku bisa sekolah sampai SMP bagiku itu lebih dari bersyukur. Apalagi kemudian aku bisa menyelesaikan hingga SMA.

Semua itu berkat jasa baik Bapak Hadi (bukan nama sebenarnya). Beliau adalah seorang pengusaha bibit buah-buahan. Pertemuan kami dimulai dari suatu hari karena jalanan yang becek akibat hujan membuat roda mobilnya selip dan tak bisa jalan. Aku satu-satunya orang yang lewat di jalan ke kampungku. Aku mendorong mobil itu bersama sopirnya di tengah derasnya hujan. Karena terkesan, aku diajaknya ikut dalam mobil itu yang kebetulan menuju ke arah kampungku. Itulah awal pertemuanku dengan Pak Hadi. Waktu itu aku baru saja tamat SD.

Beliau menyewa sebidang tanah tempat pembibitan di kampungku. Yang mengurusnya adalah ayahku, seperti juga orang-orang lain di kampungku, menjadi buruh mengurus kebun atau sawah. Aku dimintanya untuk ikut mengurus, menyiraminya setiap pagi dan sore, lalu memindahkannya sesuai umur bibit dan tingginya. Lalu jika sudah dikemas dalam plastik-plastik kecil dibawa ke kota dengan menggunakan truk, tempat penyimpanan bibit juga, untuk dipasarkan. Pak Hadi menjual bibit tanaman tidak hanya buah-buahan, tetapi juga bunga. Atas budi baik Pak Hadi aku meneruskan sekolah ke SMP. Biayanya ditanggung Pak Hadi dengan syarat asal mau bekerja sebelum dan sepulang sekolah. Demikianlah hingga aku SMA.

Aku begitu menghormati Pak Hadi. Keuletannya dan kecerdasannya membuatnya hampir selalu beruntung dalam bisnisnya. Ada juga ia ditipu orang, pesan bibit banyak sekali tetapi uangnya tak bisa ditagih, kabur. Ia pantang berputus asa, “Bukan rezeki kita,” demikian ia sering berkata. Lapak bibit yang di kota dikelola oleh 2 orang pekerja, tempat dimana kemudian aku tinggal sambil sekolah. Sebuah rumah panggung yang kecil, saung untuk memasak dan kolam tempat menampung air untuk menyiram tanaman ada di sana. Kelak, di rumah panggung itulah aku mengalami kejadian yang tak bisa kulupakan.

Diawali dari suatu hari, Bu Win (istri Pak Hadi) datang bersama putra sulungnya, Neng Yan (bukan nama sebenarnya) yang memintaku mengambilkan bibit bunga anggrek hutan untuk prakarya sekolah Neng Yan. Dari caraku memotong dan mengemas bunga anggrek itu berkali-kali Bu Win memujiku pintar dan cekatan. Bu Win dan Neng Yan memang biasa datang ke lapak bibit, baik bersama Pak Hadi atau datang sendiri. Karena umurku ketika itu sudah akil balig, dengan entengnya aku menggoda Neng Yan sebagai lebih pintar dan cekatan mengurus bunga. “Biar cantik seperti Mamanya…”, kataku menggoda.

Tak dinyana. Omonganku yang sebenarnya ngawur itu ditanggapi lain oleh Bu Win. Ia menatapku sejenak. Kulihat ada rona merah saga di wajahnya. Aku merasa takjub melihatnya, sekaligus terbit penyesalanku karena telah berkata lancang. Tetapi, bukan kemarahan yang kemudian timbul, justru senyumanlah yang kemudian kudapatkan. Menurutku, itu adalah senyum perempuan dewasa yang paling indah yang pernah kulihat. “ Kau (disebutnya namaku) mulai nakal”, katanya hampir-hampir tak kedengaran. Entahlah, apakah karena darah kelelakianku yang tersentuh atau karena suasana yang sedemikian, aku merasa sangat senang sore itu. Sampai-sampai aku seperti lupa belum makan dari pagi, membereskan ini-itu, menyiram dan sebagainya.

“Hei, Jungle Boy, sini makan dulu!” terdengar suara Neng Yan dari rumah panggung. Jungle Boy itu adalah ejekannya karena pekerjaanku yang mengurus kebun. Walau berkali kutolak untuk makan bersama karena aku merasa harus tahu diri, akhirnya aku datangi juga. Nah, pada saat makan itulah suasana jadi bertambah lain. Bu Win begitu memperhatikanku. Malahan, kalau aku tak salah ingat, nasi buatku makan dia sendirilah yang menyediakannya. Begitupun minumnya. Bagiku, itu diluar kebiasaan. Biasanya makan dan minum bagi kami sebagai pekerja ya ditinggal begitu saja.

“Ma, Yan mau bikin rangkaian anggrek lagi ya, nggak enak kalau dapat bikinan orang”, kata Neng Yan sambil pergi ke luar. Tinggalah aku dan Bu Win di rumah panggung itu. Sungguh, aku belum pernah punya pengalaman apapun dengan perempuan, juga dengan teman di sekolahku. Cinta monyet atau apa. Bu Win juga tidak tepat disebut muda, walau juga belum pantas disebut tua. Sore itu aku merasai sesuatu yang aneh. Berkali-kali kutangkap ia sedang lekat memandangku. Kalau kebetulan pandanganku bersirobok, nyata sekali ada rona merah di wajahnya.

“Berapa tahun umurmu?”, katanya mengalihkan perhatian.

“Bulan depan tujuh belas tahun,” kataku polos.

“Kau sudah punya pacar?”

“Belum, belum punya,” kataku tergagap.

Tak ada lagi percakapan sesudah itu. Hanya saja aku merasa aneh. Kulihat Bu Win di mataku menjadi sangat cantik dan menarik. Padahal biasanya, jikapun bertemu, ya biasa saja. Malahan aku sangat menghormatinya. Ya, karena ia adalah istri dari Pak Hadi, majikanku. Kejadian sore itu sangat membekas bagiku. Dan ternyata, juga bagi Bu Win.

Besoknya, Bu Win datang lagi. Saat itu hari Minggu. Dua pekerja yang lain sedang pergi mengangkut bibit bersama Pak Hadi. Pengangkutan bibit dapat memakan waktu seharian, bahkan kalau tempat tujuannya jauh bisa 2 hingga 3 hari. Sebenarnya hal begini juga sudah biasa, tetapi hari itu benar-benar jadi tak biasa. Aku dan Bu Win seperti sepasang merpati di taman yang sangat indah. Rumah panggung yang sepi dan jauh dari keramaian menjadi saksi, betapa kami betul-betul seolah lupa pada semuanya. Lupa pada pekerjaan, lupa siapa yang jadi majikan, lupa pada jenjang umur yang berbeda. Tak ada yang memaksa, tak ada yang dipaksa. Hari itu aku hilang keperjakaan.

Sesudah segalanya terjadi, aku betul-betul merasa sangat berdosa. Malamnya aku tak dapat tidur. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku merutuk menyesali semuanya. Kalau tidak ingat ada dua pekerja lain, ingin rasanya aku menjerit-jerit sekuat tenaga. Mereka menganggap aku menangis karena ingat pulang.

Namun di hari yang lain kejadian yang sama kembali berulang. Bahkan tidak jarang aku juga diajak ke rumahnya. Rumah Bu Win hampir selalu kosong karena Pak Hadi sering ke luar kota. Kami selalu tahu kapan Pak Hadi pergi. Aku tahu hal ini salah, tetapi aku tak tahu bagaimana cara menghentikannya. Aku benar-benar ingin berhenti, aku sedih setiap kali melihat Pak Hadi, Neng Yan ataupun para pekerja yang lain. Mereka benar-benar tak tahu apa yang terjadi di belakang mereka.*

(seperti diceritakan oleh N di P)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun