Mohon tunggu...
Pupun Parhanatul Maryam
Pupun Parhanatul Maryam Mohon Tunggu... -

iman, islam, dan ihsan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Polri TNI Pisah” Apakah Suatu Kesalahan?

12 April 2013   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:20 11465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dilihat dari latar belakang pemisahan TNI dengan Polisi memiliki niat yang mulia. Pada tanggal 17 Agustus 1998 untuk pertama kalinya Presiden BJ Habibie saat masa era reformasi setelah era orde baru (Orba) pada saat pemerintahan soeharto turun, beliau mencanangkan program kemandirian Polri, yaitu rencana untuk menjadikan Polri terlepas dari organisasi ABRI. Harapannya adalah Polri bisa lebih memenuhi fungsinya sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat tanpa diintervensi oleh berbagai kepentingan luar, termasuk pemerintah dan pimpinan ABRI. Tekad politik pemerintah tersebut segera ditindaklanjuti dengan peresmian kemandirian Polri pada 1 April 1999 melalui Inpres No. 2 tahun 1999 tentang Langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI, yang selanjutnya menjadi landasan formal bagi reformasi Polri.

Berdasarkan Inpres tersebut, mulai 1 April 1999, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dialihkan ke Dephankam, yang selanjutnya menjadi titik awal dimulainya proses reformasi Polri secara menyeluruh menuju Polri yang profesional dan mandiri serta sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. MPR dalam Sidang tahunannya Agustus 2000 kemudian menetapkan dua buah Tap MPR, yaitu TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang tentang Pemisahan TNI dan Polri serta TAP MPR NO. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri.

Walaupun Polri telah mendapatkan kejelasan posisinya dalam ketatanegaraan Indonesia yang baru, yaitu langsung di bawah Presiden, namun dalam pelaksanaannya, upaya mewujudkan kemandirian Polri masih terkesan tersendat-sendat yang berakibat kemandirian dan profesionalisme Polri masih menampilkan sikap dan corak kemiliteran yang mengandung kesan reaktif-represif sehingga tidak menimbulkan kesan sebagai pengayom masyarakat yang berunjuk kerja proaktif-preventif. Polri sebagai aparat penegak hukum masih bekerja dengan hanya menerapkan sanksi hukum semata dalam sistem Law Enforcement bukannya dengan sistem Law Compliance yang dapat mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang taat hukum. Akibatnya adalah Polri belum mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam era reformasi, yaitu ditegakkannya iklim demokratisasi dan HAM melalui supremasi hukum dan kemampuan polisi yang responsif terhadap kepentingan masyarakat.

Dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 amandemen kedua pada tahum 2000 menyebutkan tentang tugas Polri yaitu: " kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum". Selanjutnya dalam pasal 2 dan 4 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Negara Republik Indonesia, dinyatakan tentang fungsi dan tujuan Polri yaitu disebutkan bahwa:

Pasal 2:

Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 4:

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang melipuyi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggin hak asasi manusia.

Yang lebih penting dalam pasal 8 ayat (1), disebutkan sebagai berikut:

"Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden"

Maka hal tersebut menjadi kekuatan yang besar bagi Polri, namun hal tersebut berdampak pada kesewenang-wenangan Polri pada saat ini, Polri semakin menampakan "kekuatan" dirinnya kepada masyarakat luas, seolah-olah mempunyai wewenang tanpa batas dan tanpa kontrol, polri belum percaya diri menjadi bagian dari sistem ketatanegaraan indonesia, yang lebih jelas lagi didalam kenyataannya Polri semakin arogan dengan mempertunjukan "main perang-perangan" dengan rakyat+KPK dan terakhir kasus DS, publik semakin terkejut, bisa-bisa nya seorang jendral yang baru bintang dua memiliki sedemikian banyak harta yang mencapai puluhan, tau mungkin jika ditelisik lebih lanjut bisa ratusan milyar. Independen Polri bisa berakibat peneyelewengan-penyelewengan oleh oknum-oknum yang sesat didalm tubuh polri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun