Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahkan Tuhan pun "Dibully"

24 Juli 2017   18:08 Diperbarui: 20 Agustus 2017   20:06 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : kabarmakkah.com

Oleh Puja Mandela

Di era kini, nyaris tidak ada tokoh baik ulama, budayawan, sastrawan, presiden, artis, atau elit pithik yang tidak pernah di-bully. Kalau ada artis yang berfoto, misalnya pamer bokong seksi menggunakan bikini. Sudah pasti ia akan dicemooh; pantatnya hitam-lah, ada panunya-lah, terlalu ngglambreh-lah, dan lah, lah, yang lain. Terlebih di jejaring sosial macam Instagram, orang yang mencela fisik bahkan sampai mengarah ke hal-hal yang lebih pribadi itu sudah biasa. Ada lagi kalangan sosialita yang entah dari mana asal kekayaannya gemar apdet poto selpi mengenakan kaos ketat dengan belahan dada agak "ngintip". Lalu netizen berkomentar, "Idiiih... Sudah sering dipake aja belagu. Cuiih... Crot!" Pokoknya kekurangan fisik orang lain harus terus diekspos hingga ke detil-detilnya.

Agak prihatin saya sebenarnya. Apalagi saat melihat seorang tokoh yang punya banyak "follower" dan menjadi panutan banyak orang justru sering "ditelanjangi" di medsos. Peristiwa semacam ini tidak hanya terjadi belakangan ini saja, tetapi sudah sejak beberapa tahun yang lalu. Seseorang yang tidak pernah mengambil jarak dengan media punya potensi untuk menghakimi seseorang hanya karena menyimpulkan persoalan dari judul beritanya saja. Banyak orang yang suka nge-share berita tertentu sambil membubuhi komentar miring, bahkan sangat pedas terhadap tokoh tersebut. Padahal, belum tentu si tokoh melakukan sesuatu seperti apa yang dituduhkan oleh media itu.

Tapi begitulah. Tanpa kita sadari barangkali kita sering mem-bully orang lain dan suatu saat orang itupun akan mem-bully tokoh yang kita idolakan, bahkan mungkin bully-an itu akan mengarah kepada diri kita sendiri. Kalau itu terjadi, kita pasti tidak siap. Lalu kita akan mengeluarkan jurus pamungkas dan menganggap orang yang mem-bully kita berpikiran sempit, kurang luwes, kaku, kolot, ndeso, dan berbagai perumpamaan negatif lainnya.

Di warung yang lokasinya tidak ada di peta dunia, saya sering mewanti-wanti kepada kawan-kawan saya. Jika ada dua ulama berbeda pendapat, kita yang awam ini tidak usah turut campur. Bahkan, jika kedua ulama itu saling "gebrak meja", kita tidak perlu ikut-ikutan nggebrak meja, apalagi sampai "mbully" salah satunya. Alasannya karena saya yakin kedua ulama itu jauh lebih baik daripada kita. Lha, kita ini siapa? Kalau saya, sih, hanya hamba Allah yang tak pandai bersyukur.

Belakangan, saya melihat di medsos terjadi perdebatan yang sungguh remeh temeh sekali. Perdebatan ini terkait dengan sesuatu yang disebut dengan organisasi dan organisme atau bahasa lainnya yang sering saya gunakan ialah tentang terminologi struktural dan kultural. Panjang sekali kalau saya harus menuliskan ini. Namun, perlu diketahui bahwa misalnya Said Aqil Siradj tentulah bagian dari organisasi Nahdatul Ulama karena ia memang duduk sebagai Ketua Umum Tanfidziah Nahdatul Ulama. Kemudian, Haedar Nashir adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi, ada banyak orang NU dan Muhammadiyah yang tidak masuk dalam struktur organisasi, tidak pula pernah terlibat dalam berbagai kegiatan yang digelar oleh organisasi NU atau Muhammadiyah. Itulah yang oleh sebagian orang dijuluki sebagai NU kultural dan mungkin Muhammadiyah kultural.

Maka ketika mbah saya yang tidak pernah masuk dalam struktur kepengurusan NU, baik PCNU, PWNU, apalagi PBNU, lalu dianggap bukan bagian dari Nahdiyin, padahal ia mengamalkan apa yang dilakukan warga NU, saya anggap itu lucu dan mengada-ada. Pun begitu dengan tetangga saya yang sampai hari ini mengaku sebagai warga Muhammadiyah, padahal ia tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi Muhammadiyah. Tetapi, sampai hari ini ia memang selalu mengamalkan syariat yang diajarkan oleh Muhammadiyah, pengagum Kiai Dahlan yang militan, dan tak pernah lelah untuk memperkenalkan apa itu Muhammadiyah? Bagaimana sejarahnya? Termasuk mengapa Muhammadiyah begitu maju di bidang pendidikan?

Maka sebaiknya kita tidak perlu berdebat tentang "Apakah mbah saya itu NU atau bukan? Apakah ada keterkaitan mbah saya dengan tokoh-tokoh NU? Atau apakah tetangga saya itu benar-benar warga Muhammadiyah atau sekadar numpang di sana?" Ya, kita memang tidak perlu berdebat tentang itu. Toh, mereka sudah menunjukkan identitas mereka tanpa harus menjadi bagian dari dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu. Logikanya, bahkan logika orang awam, label NU atau Muhammadiyah itu bukan sekadar hanya menjalankan kegiatan ormasnya, tetapi juga mazhab yang menjadi "kiblat" dua ormas Islam itu.

Dunia medsos memang kejam, bahkan mungkin jauh lebih kejam dari dunia yang sesungguhnya. Jika dulu Iwan Fals pernah di-bully habis-habisan karena dianggap sudah tidak kritis lagi, termasuk tudingan Iwan Fals mendukung Jokowi, baru-baru ini Emha Ainun Nadjib pun mengalami hal serupa. Ia di-bully lantaran dalam salah satu rekaman pengajiannya menuding PBNU menerima uang 1.5 triliun dari pemerintah, sementara di sisi lain ormas-ormas Islam seperti HTI dan FPI seperti "diinjak-injak" oleh rezim Jokowi. Di dalam rekaman tersebut Cak Nun juga mengungkapkan keprihatinan atas kelakuan oknum-oknum elite di PBNU yang telah "menjual" NU kepada kelompok tertentu yang punya kepentingan untuk memanfaatkan ormas Islam yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asyari. Di sana Emha juga memberikan "bocoran" bahwa sebuah pondok pesantren tua di Situbondo, Jawa Timur juga memiliki keprihatinan yang sama dengannya.

Karena statemen itulah, hari ini Cak Nun di-bully. Ia dianggap termakan berita hoax. Ia dianggap cuma memanfaatkan warga NU yang ada di akar rumput. Bahkan ia dituding tidak ada hubungannya dengan NU. Singkatnya, Cak Nun bukan NU. Padahal jika dilihat dari amalan-amalan yang ia lakukan di forum Maiyah atau bagaimana cara ia berselawat? Tak dapat dimungkiri bahwa Cak Nun -- suka tidak suka -- adalah bagian tak terpisahkan dari NU. Di samping itu, penulis buku Slilit Sang Kiai ini juga mengagumi tokoh-tokoh yang selama ini juga dikagumi oleh Nahdiyin. Itu belum ditambah fakta-fakta lain yang membuktikan betapa dekatnya Cak Nun dengan NU.

Namun, terlepas dari benar tidaknya komentar Cak Nun tentang uang 1.5 triliun itu, saya pikir di medsos kita sudah sangat lihai mem-bully setiap orang yang bisa kita bully. Medsos benar-benar membuka ruang selebar-lebarnya untuk menjadi arena bullying. Jangankan Cak Nun yang sudah terbukti bisa menginspirasi banyak orang, di Facebook, Twitter, atau Instagram, Tuhan yang menciptakan alam semesta pun tak akan bisa terhindar dari praktik bullying.

BTL 24.7.17

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun