Mohon tunggu...
prisma susila
prisma susila Mohon Tunggu... Human Resources - Semoga menghibur

sekolah alam semesta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Anak dari Balik Desa

31 Juli 2017   22:29 Diperbarui: 31 Juli 2017   22:34 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini memang tidak berbeda dengan hari sebelum-sebelumnya. Matahari masih tetap terbit dari Timur. Matahari terbeit dengan keelokan sinarnya, sembari menunjukan kesemuan warnanya. Sedikit demi dikit matahari merangkak untuk menunjukkan keutuhan keindahannya. Begitu keindahan tersusun dengan sempurna, anak-anak kecil mulai menapakkan kakinya.

Kaki yang masih tak banyak memikul beratnya hidup, berlari, bergerak, dan bergegas. Dengan diselimuti semangat kaki mungil itu meluncur menuju sekolah. Sekolah yang bagi mereka adalah rumah kedua, karena mereka disini menemukan bapak dan ibunya. Meski bapak dan ibunya ini bukan terikat dengan aliran darahnya. Melainkan hanya sebuah ikatan usia dan tugas kehidupan yang mengharuskan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Ikatan ini pun bernamakan guru dan murid. Tapi mereka seolah tidak merasakan hal-hal itu, hal-hal yang dapat menyadarkan mereka bahwa guru bukanlah orang tua mereka sesungguhnya.

Meski bukan orang tua yang sesungguhnya, mereka memeluknya dan mengkasihinya. Semua tercurah sebagai sebuah kerinduan akan kedua orang tuannya yang sesungguhnya. Orang tua yang harus menyibukkan diri untuk dapat mempertahankan hidupnya, untuk dapat memberikan pendidikan dan untuk dapat memberikan tempat berlindung. Tangan lembutnya, pipi halusnya, dan rambut gemulainya seolah ingin dielus oleh para guru. Guru pun mencoba memberikan sebuah kasih sayang yang sesungguhnya layaknya orang tua. Mendidik, menkasihi, dan mengayomi kehidupan para anak-anak ini.

Mata ini pun seolah tak dapat berkedip. Telinga ini pun terasa suara-suara bergerak masuk. Hati pun ikut, sedikit demi sedikit untuk bergetar. Bagaimana tidak tak merasakan itu, kerinduan akan kasih sayang anak-anak dari orang tua yang masih berlayar, berjalan, dan bekerja jauh di negeri orang. Bisa saja memang fisik mereka terpenuhi dengan hasil keringat kedua orang tuanya. Tapi aku merasakan bagaimana tidak kosongnya hati mereka.

Aku pun merasakan kegundahan hati, hari ke hari dengan melihat ini. bagaimana tidak merasakan kegundahan, dunia ini semakin keras dan kejam. Kebahagaian sebuah keluarga harus di korbankan hanya untuk dapat terpenuhinya kebutuhan keluarga. Dari hari-hari semakin juga bertambah kegundahan, disisi lain aku sangat ingin sekali merubah keadaan ini. tapi disisi lain aku pun masih belum berdaya pada kehidupan ini. kegundahan lagi bertambah, ketika melihat semakin banyak lembaga-lembaga yang dapat memberi melindungi fisik-fisik anak-anak ini. Namun begitu tidak pada hati dan perasaan anak-anak ini.

Begitu memilukan lagi, sebuah keluarga yang dibangun untuk saling mengayomi dan melindungi. Terpisah oleh sebuah kebutuhan manusiawi. Sehingga masing-masing mencari pengayoman sendiri, mencari pelindung sendiri. Perlahan-lahan pun masing-masing merasakan lupa, dan tak mengingat bahwa mereka sebenarnya memiliki sebuah payung dan memiliki sebuah akar yang sama.

Untuk anak-anak ini, begitu aku mengirikan kalian. Meski hatimu tak merasakan kehangatan dan tak merasakan kenyamanan tapi kakimu masih saja melompat. Melompat setinggi yang kau mampu, melompat sebisa kau dapat dan sekuat-kuatnya. Tetaplah seperti ini, sepertilah anak-anak yang kuat. Kuat secara fisik, hati dan fikiran kalian.

Dengan adanya seperti itu, kami yang tak menemui kehidupan seperti itu, dapat belajar dan berguru pada mu. Meskipun, umur ku jauh diatas mu. Meski perjalanku jauh, perjalananku tak begitu mendewasakan ku. Sampai ku bertemu dengan mu. Dengan perjuangan mu, dengan jejak langkah mu dan dengan semangat mu. Maka, engaku akan menjadi apa yang kau inginkan, menjadi yang engkau harapkan. Bukan hanya sekedar dibentuk dari sebuah keadaan hidup.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun