Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bicara soal Integritas

17 Agustus 2017   19:43 Diperbarui: 17 Agustus 2017   19:57 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan foto acara Duta Bahasa 2009. Dokumentasi pribadi.

Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu! Janganlah pernah berunding karena ketakutan, tetapi jangan takut untuk berunding. Kalimat dari John F. Kennedy itu sering sekali dikutip untuk membakar semangat dan cinta terhadap bangsa dan negara. Kalimat itu pun berhasil membakar diriku ketika kali pertama mendengarnya beberapa belas tahun silam.

Profesiku memang seorang Aparatur Sipil Negara. Tapi, jarang yang tahu, aku tetap bekerja sebagai ASN (PNS) karena alasan pengabdian semata. Sebagai seorang lelaki sejati, aku sudah bersiap ditempatkan di mana saja untuk mengawal keuangan negara. Ujung tombak APBN. Begitulah julukan kami, Insan Perbendaharaan, yang bertugas (salah satunya) mencairkan dana APBN di seluruh penjuru negeri.

Terdengar idealis memang, dan banyak yang meragukan---dengan alasan penghasilan pegawai Kementerian Keuangan 'kan besar? Saya katakan tidak demikian. Beberapa kali saya mendapat tawaran untuk bekerja di tempat lain, keluar dari tugas ketika aku ditempatkan di Sumbawa Besar. Tapi, lelaki sejati tidak kabur dari kewajiban, bukan?

Beruntungnya menjadi pegawai Perbendaharaan adalah aku masuk ketika reformasi birokrasi di Perbendaharaan sudah berjalan nyaris sempurna. Sistem yang dibangun sudah menghilangkan peluang-peluang koruptif. Meski pada praktiknya, godaan gratifikasi kecil-kecilan (yang sebenarnya tidak berkaitan dengan sistem) sebagai ucapan terima kasih ketika sudah membantu customer itu tetap ada. Dan, dengan bangga saya katakan, selama bertugas, saya berhasil menolak semua godaan itu. Bahkan pernah ada yang hendak memberi seplastik besar kerupuk, saya tolak. Pas istirahat saya pulang ke rumah dinas, plastik besar itu menggantung di pintu. Saya ambil dan saya berlari dengan marah, mencari orang yang meletakkannya untuk mengembalikan plastik itu. Integritas seorang Insan Perbendahaaan adalah hal penting yang harus dijaga.

Di luar profesiku sebagai ASN, aku punya profesi lain, yakni penulis. Pada tahun 2009, saya terpilih sebagai Duta Bahasa Provinsi Sumatra Selatan. Dan entah mengapa, saya selalu mencantumkan keterangan ini di setiap karya saya yang terpublikasi. Apakah sebegitu bangganya saya menjadi Duta Bahasa? Sebenarnya tidak juga. Kritik pada penyelanggaran Duta Bahasa adalah acara tersebut tidak pernah benar-benar menjadi ajang kebahasaan, melainkan ajang duta seperti duta pada umumnya. Yang terpenting sebenarnya adalah setelah itu, tanggung jawab yang diemban sebagai Duta Bahasa. Saya merasa diri ini harus konsen dan punya hasrat yang terus membara dalam kebahasaan.

Beberapa waktu lalu, saya sempat mengalami masa yang menegangkan. Ketika menulis soal plagiarisme Afi Nihaya Faradisa, saya banyak dituduh macam-macam. Padahal, perlu ditegaskan, keterlibatan saya dalam hal itu, hanyalah soal tanggung jawab tadi. Jangan berani-berani menguji ketahanan literasi. Akan ada banyak orang yang menjaganya. Dan jika pun tidak banyak, saya akan menjadi salah satu yang sedikit. Dan jika tidak ada yang sedikit, saya akan menjadi satu-satunya. Lebay?

Di kantor, saya sekarang bertugas di bagian Litbang Perbendaharaan. Salah satu tugas sehari-hari Litbang adalah membaca tulisan yang masuk untuk kemudian dipilih ke dalam Jurnal Ilmiah Perbendaharaan. Satu kalimat Kasubdit saya yang membekas, "Orang-orang yang suka membaca akan langsung tahu apakah sebuah tulisan itu otentik milik dia atau bukan." Ya, ada gaya dan struktur berpikir yang khas pada setiap tulisan kita.

Dalam kasus Afi, ketika pertama kali menunjukkan batang hidung di acara Kompasiana saya ditanya kenapa bisa tahu, ada hal fatal yang membuka kedoknya dalam tulisan Agama Kasih. Yakni, ketika dia mengutip Fariduddin Attar. Buku Attar bukanlah buku yang mudah didapatkan. Dan bukunya yang paling mungkin dibaca adalah Musyawarah Burung-Burung. Bukunya selain itu... kamu harus mengaji pada maqam tertentu, barulah akan ada orang merekomendasikannya. Termasuk ketika diwawancarai Rosi, Afi menjawab sudah membaca buku Sartre ketika SMP. Ini juga saya yakin tidak benar. Rosi tidak bertanya judul buku apa yang ia baca. Buku Sartre apayang beredar umum di khalayak? Saya membatin. Paling Kata-kata (Words) yang diterbitkan KPG sekian tahun silam.

Saya tidak tahu sejauh mana kasus Afi menjadi penting untuk pembelajaran anak-anak muda kita di tengah pusaran informasi yang clicl-bait-oriented. Literasi kita yang bermasalah ini dengan berbagai faktor penyebabnya---pendidikan yang kurang terarah, loncatan budaya digital yang terlalu cepat sebelum budaya tulis terbangun dengan baik, dll---membuat kebodohan menyebar lebih cepat dari kecepatan cahaya. Ini adalah sesuatu yang harus diperbaiki dengan kerja bersama kita.

Kekasihku yang kucintai pernah bertanya, "Kamu sudah menuai banyak prestasi, menulis banyak buku, mendapat penghargaan dan juara di bidang tulis-menulis, terpilih sebagai emerging writer di Makassar International Writers Festival, menjadi wakil Indonesia di residensi penulis Asean Literary Festival, lalu apa? Itu semua untuk dirimu sendiri. Sudahkah kamu berpikir untuk bermanfaat bagi orang lain?"

Saya tidak bisa menjawab apakah saya sudah bermanfaat bagi orang lain, meski saya ingin mengatakan kepadanya bahwa saya menyadari penuh setiap tulisan yang saya buat bersifat politis. Selalu ada sebab, selalu ada kritik---yang saya tidak tahu apakah orang akan menangkapnya, atau bahkan membuat orang lain tergerak atau tidak. The Author is Dead kata Roland Barthes. Namun, pertanyaan itu membuatku tergerak untuk membuka kelas menulis, berbagi kepada orang lain, dan ternyata senang luar biasa ketika karya mereka menembus koran-koran nasional. dDI Line pun, saya bikin Ruang Bahasa, yang masih kurang terurus sih, untuk membagi informasi kebahasaan. Kemudian, saya menerima ajakan bergabung sebuah penerbit dengan visi menerbitkan buku-buku berkualitas.

Menurutmu, bagaimana? Sudahkah sedikit pengalaman ini memiliki manfaat buat negara dan bangsa ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun