Harga sawit anjlok hingga ke Rp 1000 per kg sejak Juni 2018. Dan angka itu bertahan hingga hari ini. Padahal pemerintah sempat menjanjikan harga sawit akan naik di Oktober. Kenyataannya, harga sawit tak kunjung normal. Akibatnya banyak rakyat di akar rumput yang hidupnya bergantung pada sawit, menjerit karena perekonomiannya memburuk selama beberapa bulan ini.Â
Setelah pada periode Juli 2018, rata-rata harga TBS yang tertekan berkisar Rp800 hingga Rp1.000 per kilogram (beragam harga pada masing-masing daerah). Padahal pada awal tahun, harga TBS masih dalam keadaan normal berkisar Rp 1.800 hingga Rp 1.900. per kg.
Harga kelapa sawit yang nyaris tidak ada harganya membuat banyak petani tidak memanen buahnya lagi. Belum lagi untuk menalangi untuk upah angkut dan panen, serta pemanfaatan buruhnya juga upah menjaga buah-buah dari nakalnya ninja-ninja malam yang tidak bertanggung jawab. Penyebab turunnya harga kelapa sawit selaku petani kaum bawah kebanyakan tidak tahu.Â
Kebanyakan kalangan petani sawit dilanda kecemasan kalau-kalau harga sawit makin anjlok hingga Rp 500 per kilogram seperti yang terjadi empat tahun silam. Bisa-bisa petani sawit akan semakin terpuruk.
Memprediksi kemungkinan terpuruk ini sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan nasib para petani sawit. Perlu adanya pemberitahuan secara formal mengapa harga sawit bisa anjlok agar para petani dan masyarakat mengetahui penyebab dan bagaimana cara mengatasinya.
Menurunnya harga sawit bukanlah isu nasional, melainkan internasional. Dilansir dari CNBC Indonesia, penyebab anjloknya harga sawit yang berimbas ke Indonesia adalah perang dagang Amerika Serikat -- China yang berdampak pada industri minyak sawit. Negara AS yang menyetel tarif tinggi pada produk-produk China. China juga yang membalas serangan dengan mengurangi pembelian kedelai dari AS. Hal ini membuat stok kedelai di AS menumpuk. Disisi lain, China mampu mengantisipasi stok kedelai di negaranya.
Melimpahnya stok kedelai di AS sekaligus permintaan pasar global yang lemah membuat harga menjadi jatuh. Persediaan minyak nabati yang melimpah seperti rapeseed, bunga matahari, dan minyak sawit membuat permintaan akan minyak nabati yang berimbas pada Indonesia menjadi rendah. Harga yang rendah tidak mendorong permintaan akan produsen maupun konsumen.
Melihat masalah ini, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak terlalu banyak berharap akan permintaan luar negeri yang tidak pasti waktunya akan meningkat kembali. Perlu membentengi diri dengan meningkatkan permintaan dalam negeri itu sendiri.Â
Dengan melihat potensi dari minyak sawit yang dapat diberdayakan menjadi bahan energi lain, kita dapat memfokuskan bagaimana cara meningkatkan produktivitas minyak sawit, bukan meningkatkan lahan, sehingga banyak masyarakat berbondong-bondong membuka lahan kelapa sawit. Mengingatkan akan adanya moratorium pemerintah tentang lahan sawit yang bertujuan untuk mengevaluasi peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.
Salah satunya adalah pemanfaatan dan penggunaan biodiesel sebagai pengganti bahan bakar seperti solar dan lain-lain. Ditambah lagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi menyatakan perlunya memperluas penggunaan atau pemanfaatan biodiesel sebagai bahan campuran pada bahan bakar minyak atau BBM. Seiring dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.Â
Dalam kebijaksanaan tersebut ditekankan perluasan pemanfaatan biodiesel untuk seluruh sektor. Pemanfaatan Biodiesel 20% (B20) bisa dilakukan kepada transportasi PSO (Public Service Obligation) maupun non PSO, seperti kapal laut, kereta api, hingga kendaraan-kendaraan berat khususnya di sektor pertambangan.