Mohon tunggu...
Yudha Pratomo
Yudha Pratomo Mohon Tunggu... Jurnalis - Siapa aku

is typing...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Selamat Ulang Tahun, Kompas! Maaf Saya Belum Tertarik Langganan Kompas.id

29 Juni 2017   16:03 Diperbarui: 1 Juli 2017   08:20 1836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Riyanto.worpress.com

Koran Kompas bagi saya pribadi seolah sudah menjadi bagian dari hidup. Bukan berlebihan, karena sejak kecil memang saya sudah cukup akrab dengan koran ini. Kedua orang tua sayalah yang sangat berpengaruh mengenalkan Kompas. Sejak kecil, kedua orang tua saya yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar ini rajin membeli Kompas dari loper yang berkeliling dari satu sekolah ke sekolah lain. Kadang jika suatu ketika si loper koran ini tidak datang jualan ke sekolah, ayah saya rela mengeluarkan tenaga ekstra untuk pergi ke pasar demi memastikan satu eksemplar koran dimilikinya.

Saya ingat dulu ketika waktu saya masih SMA ayah saya pernah berkata bahwa segala macam informasi bisa didapatkan di mana saja, dari mana saja dan bagaimanapun caranya. Tapi untuk mendapatkan informasi benar-benar akurat dan terperinci untuk sangat sulit didapat, itulah salah satu alasan ayah saya tetap setia membaca koran ini sampai sekarang. Saya pun kembali mengingat kata-kata itu, apalagi dengan kemajuan teknologi dan maraknya berita hoax di mana-mana, saya kira kita butuh satu pegangan dan kiblat ke mana kita akan mencari segala informasi.

Bicara soal kemajuan teknologi, digitalisasi media juga jadi kewajiban saat ini. Era digital yang terus bergerak cepat mengubah segala hal soal kehidupan manusia, termasuk mendapatkan berita. Kemudahan, aksesibilitas adalah nomor satu. Berita harus bisa didapatkan di mana saja kita berada dan itu bukan menjadi masalah di zaman ini karena dunia tempat kita berpijak, sudah dikelilingi belenggu internet dan hidup kita memang bergantung padanya kini.

Kompas pun demikian, demi tetap bertahan dan tidak tergerus arus zaman, ia harus bertransformasi mengubah dirinya menjadi bentuk yang lebih fleksibel dengan kemampuan pengumpulan konten yang beragam nan variatif. Maka pada Februari lalu meluncurlah Kompas.id, di mana Harian Kompas itu bertransformasi dan menjadi "rumah" bagi konten yang beragam itu. Cukup terlambat memang menurut saya. Berbeda jika kita membandingkan dengan New York Times atau The Washington Post yang sudah lebih dulu mengadopsi bentuk digital. Kompas terlambat.

Tapi sudahlah, lebih baik terlambat dari pada tidak. Dulu seingat saya Kompas punya halaman e-paper tapi kemudian terus diperbarui dengan Kompas.id sekarang ini. Kompas.id berbeda dengan Kompas.com. Perbedaannya tentu terlihat, mulai dari tampilan, kemasan berita, cara penyajian hingga gaya penulisan. Ini karena jajaran redaksinya memang berbeda juga berbeda manajemennya.

Pola monetisasi pun berbeda. Kompas.com sangat mengandalkan iklan sebagai pemasukan. Kompas.id pun tentu sama yakni dengan mengandalkan iklan, namun untuk mengakses secara penuh Kompas.id Anda perlu berlangganan dengan membayar tarif tertentu setiap bulannya.

Saya pun sering mendapat email dan ditawari untuk berlangganan dengan diiming-imingi potongan-potongan harga tertentu. Tapi meski demikian saya pribadi masih belum tertarik untuk berlangganan Kompas.id. Ada beberapa alasan tentunya yang melatarbelakangi dan itu adalah alasan-alasan pribadi saya sendiri.

Pertama, bentuk Kompas.id yang digital mengharuskan pembacanya membuka halaman tersebut dan membacanya melalui gawai maupun komputer jinjing (laptop). Memang dengan bentuk digital ini pembacanya mendapat kemudahan untuk mengakses di mana saja dan kapan saja selama masih ada koneksi internet. Tapi bagi pembaca yang tidak bisa berlama-lama di depan layar komputer & gawai seperti saya ini malah menyulitkan. 

Mata saya memang bermasalah sejak kecil dan dokter tidak merekomendasikan untuk melihat ke layar baik itu televisi, komputer maupun gawai dalam waktu yang lama. Jika Anda mengenal atau setidaknya pernah bertatap muka dengan saya, maka Anda akan melihat saya berkedip dengan cepat. Itu salah satu efek dan upaya mata saya untuk meredakan perih serta nyeri dan gerakan itu bahkan tidak terasa oleh saya. Jadi untuk orang seperti saya ini lebih baik membaca Kompas versi cetak saja.

Alasan lainnya adalah; di tempat saya tinggal (tepatnya di desa bagian ujung Bogor barat), koneksi internet masih tergolong sangat minim. Memang ada beberapa rumah yang sudah memiliki internet, tapi tidak banyak. Koneksi jaringan seluler pun hanya terbatas pada 3G, itu pun sudah Alhamdulillah jika ada. Maka sepertinya bentuk digital Harian Kompas ini masih belum begitu saya perlukan.

Desa tempat saya tinggal benda-benda yang sifatnya konvensional masih banyak digunakan. Mungkin bagi Anda memasak dengan menggunakan tungku adalah hal yang jarang ditemukan, tapi tidak bagi saya. Masih cukup banyak masyarakat yang menggunakan tungku sebagai alat memasak, dengan bahan bakar kayu kering tentunya. Begitu juga dengan surat kabar. Koran masih laku dan banyak peminatnya di desa tempat saya tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun