Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Bali Tak Pernah Minder

15 September 2014   09:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:40 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak kenal Bali? Ikon pariwisata Indonesia yang bahkan terkadang namanya lebih terkenal daripada Indonesia sendiri. Wisatanya memang menjadi daya tarik kelas satu bagi turis asing yang pergi Indonesia. Wisata alam dan terutama budaya, kesenian dan kearifan lokal yang mistis dan spiritualistik yang melekat erat pada Pulau Bali ini membuktikan perkataan Aristoteles, yaitu Art completes what nature cannot bring to finish. Artinya, Bali memadukan kesenian dan budaya dengan keindahan alamnya untuk menjelma menjadi sempurna untuk menyematkan julukan The Last Paradise. “Bali… Gooooddd..” Begitulah salah satu dialog dari Roman, seorang turis Canada yang diperankan Cak Lontong saat melihat keindahan Pulau Bali.

[caption id="attachment_324061" align="aligncenter" width="420" caption="Semua Pemain"][/caption]

Tanggal 12-13 September 2014, Indonesia Kita kembali mementaskan pertunjukan budaya bertajuk Roman Made in Bali. Ini merupakan pementasan kedua setelah pada bulan April lalu sukses mementaskan Matinya Sang Maestro. Bahkan pementasan tersebut sampai ditayangkan kembali. Pada lakon Matinya Sang Maestro, cerita yang disuguhkan sangat satir. Dengan balutan kesenian Jawa seperti tari dwimuka oleh Didik Ninik Thowok, kendangan oleh Djaduk Ferianto, dan lawakan khas ludruk Jawa Timur oleh Cak Kartolo, ceritanya berusaha mengkritik perhatian pemerintah pada kehidupan seniman yang idealis mempertahankan tradisi bangsa namun terasa sangat kontradiktif dengan kehidupannya yang miskin dan banyak hutang. Potret seniman-seniman sepeti yang dikatakan salah satu seniman ludruk Jawa Timur: “seniman itu berkesenian karena rasa, kalau berkesenian karena uang namanya penjual seni.”

Kali ini, masih dengan tim kreatif yang sama yaitu Agus Noor (cerpenis, penulis naskah panggung) dan Butet Kartaredjasa (pada esai-esainya di media masa biasa disebut buruh akting), ditambah Putu Fajar Arcana (editor kebudayaan harian Kompas Minggu) kembali mengeluarkan kemampuan mereka dalam meramu seni tradisional dan seni kontemporer menjadi suatu pertunjukan yang menarik banyak penonton di Taman Ismail Marzuki ini. Mengambil tema Bali, mereka sepertinya mudah mendapatkan kesenian-kesenian premium yang memang tersedia, beragam, dan masih tetap menjadi satuan kultural yang kuat dan mandiri di tengah tekanan global.

Kuat dan mandiri bukan berarti sebisa mungkin menutup diri dari pengaruh budaya asing. Kuat dan mandiri ini berhasil menciptakan sebuah hasil perpaduan budaya yang memukau dan berhasil terjawab pada pementasan Roman Made in Bali ini. Seniman-seniman Bali yang sedang hits pun dipilih, I Wayan Balawan (gitaris), I Made Sidia (dalang), Ayu laksmi (penyanyi), Heny Janawati (soprano), dan Cak Kobagi (musik tubuh). Mereka semua seolah “penjinak” budaya asing yang yang telah mereka pelajari dan meramunya dengan budaya tradisional untuk menghasilkan budaya baru yang lebih fresh.

Tidak Minder

Budayawan Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi bangsa yang minder. Hal itu terlihat dari kehidupan masyarakat khususnya perkotaan yang semakin tidak peduli pada budaya. Ditambah mereka hanya menelan kebudayaan asing yang masuk bulat-bulat. Tak hanya itu, bahkan cara hidupnya pun menunjukan bahwa budaya tradisional Indonesia tidak akan relevan dengan budaya dan kesenian asing.

Namun tidak bagi Bali secara khusus. Balawan dan Ayu Laksmi yang berangkat dari musik rock kembali hadir di tengah-tengah budaya tradisional demi menciptakan warna yang berbeda pada musik Bali. Dengan menggabungkan permainan gitar jazz-nya dan musik etnik Bali, Balawan berhasil menjadi ikon kesenian Bali. Begitu juga dengan I Made Sidia dengan meleburkan berbagai jenis wayang di dunia menjadi satu.

Heny Janawati adalah seorang soprano atau penyanyi opera, namun dengan membawakan lagu-lagu Bali, dia berhasil membuat opera di tengah budaya lokal Bali. Satu lagi pertunjukan musik yang unik yaitu Cak Kobagi (Komunitas Badan Gila). Mereka menyulap lantai panggung, gelas bambu, sepatu, dan tubuh mereka menjadi alat musik. Ya, mereka menghasilkan bunyi-bunyian yang harmonis dari tepukan pada tubuh mereka, bahkan hingga desahan nafas mereka yang kelelahan pun disulap menjadi nada.

Mereka semua memberi bukti nyata bahwa Bali tidak pernah minder namun juga selalu terbuka dalam menanggapi tekanan global. Mereka kini pantas disebut ikon Bali kontemporer.

Mengesampingkan Alur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun